Eksekusi Warren Hill yang berusia 52 tahun ini telah ditunda satu kali pada awal minggu ini. Pada Senin (15/7) lalu, hakim memerintahkan penundaan pada menit-menit terakhir sebelum eksekusi. Otoritas penjara lantas menjadwalkan eksekusi mati Hill pada Jumat (19/7) waktu setempat.
Seperti dilansir AFP, Jumat (19/7/2013), hakim distrik Fulton, Gail Tusan kembali memerintahkan penundaan eksekusi mati pada Kamis (18/7) waktu setempat. Hakim Tusan mengabulkan keberatan pengacara sang napi yang menggugat aturan soal 'kerahasiaan' atas obat yang akan digunakan untuk mengeksekusi mati kliennya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hakim Tusan menilai bahwa delapan amandemen konstitusi yang melarang adanya penghukuman yang kejam dan tidak wajar, bisa berarti bahwa seorang narapidana berhak tahu dengan jelas soal bagaimana dia akan dieksekusi mati, dan metode yang digunakan agar tidak menimbulkan penderitaan dan rasa sakit.
Salah satu pengacara Hill, Brian Kammer mengaku lega mendengar putusan hakim Tusan ini. Hal ini dinilai mampu menglulur waktu karena mereka masih menunggu putusan Mahkamah Agung yang hendak memutus apakah Hill digolongkan sebagai penderita gangguan mental. Namun di sisi lain, jaksa wilayah Georgia telah mengajukan banding atas putusan hakim Tusan tersebut.
Hill divonis penjara seumur hidup atas kasus pembunuhan kekasihnya. Namun pria itu kemudian divonis mati karena menyerang rekan sesama narapidana secara brutal pada tahun 1990 lalu.
Pada tahun 2002, Mahkamah Agung setempat melarang eksekusi mati terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sebelumnya pada tahun 2000, tiga dokter yang memeriksa Hill menyatakan bahwa dia tidak termasuk kategori orang dengan gangguan mental.
Namun belakangan, ketiga dokter ini meralat analisis mereka dan menyatakan Hill yang hanya memiliki IQ 70 ini, mengalami gangguan mental. Dengan adanya analisis ini, seharusnya Hill tidak dieksekusi mati. Namun sistem hukum di Georgia menyulitkan para pengacara Hill untuk memperjuangkan hak kliennya.
(nvc/ita)