Seperti dilansir dalam website MA, Selasa (16/7/2013), selaku Kepala Seksi Ekstensifikasi Kantor Pajak Pratama Tahuna, Hendrik bertugas melakukan pengamatan dan penggalian potensi pajak di Sangihe.
Dengan tugas itu, Hendrik mendatangi wajib pajak Gidion Tandayu yang seharusnya membayar pajak tahunan Rp 32 juta. Menurut analisa Hendrik, dalam penagihan pajak Gidion pada 2010 ternyata bertentangan dengan sistem perpajakan. Lantas terjadilah tawar menawar antara Hendrik dan Gidion dan turun menjadi Rp 12 juta untuk PPh tahun 2010.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ulah Hendrik tidak hanya sampai di situ, dia juga mendatangi wajib pajak lainnya, Kuirnius Lawendatu. Saat didatangi Kuirnius tak ada di rumah dan ketemu dengan anaknya. Anaknya meminta surat tagihan resmi sebesar Rp 16 juta tapi Hendrik tidak bisa menunjukkan dan Hendrik langsung pergi.
Belakangan, uang pajak dari Gidion dan Julfrets sebesar Rp 17 juta tidak disetor ke kas negara tetapi dinikmati sendiri. Sehingga Hendrik pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di meja pengadilan.
Pada 14 September 2010, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Tahuna menuntut Hendrik 4 tahun penjara. Namun tuntutan ini kandas. Pengadilan Negeri (PN) Tahuna membebaskan Hendrik dari segala dakwaan (vrisjpraak).
Atas vonis ini, JPU lalu mengajukan kasasi. Di peradilan tertinggi di Indonesia ini, vonis Hendrik berubah.
"Mengadili sendiri, menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 6 bulan," putus kasasi yang diadili oleh Djoko Sarwoko, Sophian Marthabaya dan M Askin.
MA mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan yaitu Hendrik tidak mengakui perbuatannya sehingga mempersulit proses persidangan. Adapun yang meringankan Hendrik pernah dihukum dan berlaku sopan di persidangan.
(asp/nrl)