Tak pelak, semua manuver politik yang dilakukan membuat arena politik Indonesia semakin hangat. Ditambah lagi dengan kehadiran lembaga survei yang merilis nama-nama calon presiden dan diskusi di media televisi yang memperbincangkan dinamika politik yang terjadi.
Beberapa parpol bahkan telah melakukan gebrakan politik, misalnya Partai Hanura yang telah mendeklarasikan Wiranto (66 tahun) dan Hary Tanoesudibyo (47 tahun) sebagai pasangan calon Presiden-Wakil Presiden dari parpol tersebut. Ada yang mengatakan bahwa langkah ini terlalu dini. Tapi menurut saya segala manuver parpol patutlah dicermati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dinamika lainnya adalah konvensi calon presiden Partai Demokrat. SBY (63 tahun) sebagai Ketua Umum mencoba meyakinkan publik bahwa konvensi ini serius dan tidak ada rekayasa atau formalitas belaka. Tetapi melihat cara kerja SBY yang selalu terukur dan tidak berani mengambil risiko, saya kira kita perlu menguji benar pernyataan SBY ini. Menimbang SBY pernah βkecolonganβ kala terpilih Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Salah satu nama yang mencuat di Konvensi Partai Demokrat adalah Jenderal Pramono Edhie Wibowo (58 tahun). Ipar SBY ini baru saja menyatakan bergabung dengan Partai Demokrat yang sontak mengejutkan beberapa pengurus partai tersebut.
Golkar? Saya rasa partai ini sudah cukup jelas akan mencalonkan Aburizal Bakrie (66 tahun) sebagai Presiden. Berbagai upaya di media massa telah dilakukan oleh ARB untuk menyosialisasikan dirinya. Namun tampaknya upaya ini belumlah signifikan berdampak pada popularitas dan elektabilitas ARB.
Bagaimana partai lainnya? Gerindra tampaknya masih menanti waktu yang tepat untuk mengumumkan Prabowo (61 tahun). Begitu juga PAN, melihat karakter Hatta Rajasa (59 tahun) yang berhati-hati, saya rasa dia akan menimbang betul strategi pencalonan presiden dari partainya.
Sedangkan PKS tampaknya masih terus melakukan konsolidasi internal di daerah-daerah pasca badai yang menimpa partai tersebut. PDIP tampak masih akan mengunggulkan Megawati Soekarnoputri (66 tahun), meski banyak juga suara arus bawah yang mendukung Jokowi (52 tahun). Partai lainnya tampak belum berani berkomentar sebelum menerima hasil dari pemilu legislatif.
Melihat deretan nama yang berkembang di belantika politik Indonesia, tampaknya tidak ada satu pun yang berusia di bawah 45 tahun. Bahkan, daftar ini berisikan nama-nama yang telah lama mengisi perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak era reformasi bergulir. Lalu di manakah para calon Presiden muda ini? Apakah mereka memilih untuk tidak terjun dalam pencalonan karena melihat βpercumaβ dengan pertimbangan sumber daya yang ada. Ataukah mereka tertekan oleh sistem yang memaksa mereka hanya menjadi βkandidat prospektifβ sepanjang masa?
Indonesia bukan tidak punya tokoh potensial. Jika dibuat daftar bisa jadi ratusan nama akan berada di dalamnya dan sebagian bahkan sudah berkiprah dalam parpol. Saya melihat setidaknya ada tiga faktor yang menghambat tampilnya calon presiden muda dalam perhelatan demokrasi Indonesia era kini.
Faktor Patron-klien
Kebanyakan parpol di Indonesia masih merupakan sebuah kendaraan pribadi atau kelompok tertentu. Parpol belum menjadi institusi pengkaderan yang mampu melakukan regenerasi kepemimpinan secara sistemik dan melahirkan pemimpin muda baru secara berkala.
Saya melihat, parpol masih sulit melepaskan diri dari bayang-bayang pemodal utama dari partai tersebut. Kita bisa melihat bagaimana Demokrat yang sempat memproklamirkan diri sebagai parpol moderen pun kini tak bisa lepas dari pengaruh besar SBY dan keluarganya. Demikian pula PDIP dengan Megawati Soekarnoputri, Gerindra dan Prabowo-nya, Nasdem dan Surya Paloh, atau Hanura dan Wiranto.
Dari sini bisa kita juga melihat bahwa ada identifikasi personal dari sebuah parpol. Akibatnya, timbul relasi patron (pemilik modal) - klien (pengikut setia) di dalam tubuh parpol. Mereka yang dekat dan mampu menyenangkan sang patron akan mendapat posisi nyaman, sedangkan mereka yang tak pandai memposisikan diri akan terdepak dengan sendirinya.
Terkadang, mereka yang muda dan idealis tak cukup berkenan untuk terus-menerus menjilat kepada sang patron, akibatnya dia tergerus oleh kenyataan bahwa dirinya tidak bisa berkembang dalam parpol tersebut.
Faktor Biaya Demokrasi
Untuk dapat menang dalam kompetisi demokrasi di negeri sebesar Indonesia membutuhan sumber daya yang tidak sedikit, baik itu dana, massa, media dan jaringan.
Mereka yang terbilang muda, belum memiliki keempat sumber daya ini dengan berimbang. Bisa jadi dia disenangi media tetapi tidak memiliki dana, atau ia memiliki dana tetapi tidak cukup memiliki jaringan hingga ke pelosok negeri. Dan biasanya, mereka yang memiliki keempat sumber daya ini adalah para tokoh yang sudah relatif berumur.
Dengan biaya demokrasi yang besar, membuat kesempatan calon presiden muda semakin tipis. Ketidakmampuan mereka bersaing pada tingkat nasional bukan karena dia minim narasi pembangunan, melainkan keterbatasan sumber daya yang dia kelola. Demokrasi berbiaya mahal ini perlu menjadi catatan ke depan. Jika terus dibiarkan, bisa jadi negeri ini akan dipimpin oleh mereka yang menguasai banyak modal saja. Dan nasib para pemimpin muda prospektif ini hanya akan berakhir di lingkaran dekat presiden saja.
Faktor Politik Gagasan Kurang Diapresiasi
Demokrasi di Indonesia yang telah berkembang dalam 15 tahun terakhir belum mampu mengantarkan negeri ini pada dialektika gagasan dalam penentuan pemenang hasil pemilu. Dia hanya sebatas mampu menjadi ajang hiburan, semarak, seremonial, dan panggung spanduk bagi rakyat. Rakyat belum mendapat suguhan dialog gagasan yang segar dari calon yang bersaing, budaya pamrih negeri ini juga membuat debat ide tidak berkembang dengan baik.
Festivalisasi demokrasi yang berlebihan ini membuat rakyat menjadi irasional dalam memilih calon presiden, belum lagi dengan jumlah golput yang terus meningkat. Demokrasi masih hanya sebatas βsiapaβ dan βberani kasih berapaβ, belum pada fase βapa gagasan yang anda bawaβ. Fakta ini jelas menjadi ujian terjal bagi para calon presiden muda yang ingin berkompetisi. Narasi orisinil yang mereka bawa terpaksa dikubur secara prematur karena demokrasi Indonesia belum mengapresiasinya.
Belajar Kembali dari Sejarah
Apakah negeri ini lupa, atau sengaja lupa bahwa proklamator negeri ini Bung Karno dan Bung Hatta berusia 44 dan 43 tahun ketika menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan Bung Syahrir dan Bung Natsir menjadi Perdana Menteri pada usia 40 dan 42 tahun. Serta perlu dicatat kalau Jenderal Soedirman wafat pada usia 36 tahun, yang artinya dia telah menjadi Jenderal dan Panglima TNI pada usia 30-an tahun.
Mereka yang dulu pernah memimpin negeri ini terpilih karena mereka mampu berpikir dan berjiwa besar, bukan sekadar pemilik modal besar. Mereka yang lahir dari rahim pergolakan kemerdekaan, menjadi pemimpin organik yang berkembang dari tempaan perjuangan mereka sejak usia belia. Alhasil, mereka dipercaya rakyat bukan karena kekayaan harta, melainkan karena kekayaan intelektual yang diapresiasi oleh rakyat yang percaya bahwa kepemimpinan akan tepat bila dikelola oleh mereka yang memiliki kemampuan.
Pemilu 2014 tinggal hitungan bulan, parpol-parpol terus berbenah, rakyat juga kerap disuguhi reklame wajah para calon pemimpin negeri, yang nyaris semuanya stok tua, wajah-wajah lama. Pertanyaan yang perlu disampaikan untuk menggugat adalah: di manakah para calon presiden muda Indonesia?
Keterangan penulis:
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana pada International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam dan Sekretaris Jenderal PPI Belanda. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili lembaga.
(es/es)