Kasus ini bermula saat sipir LP Kelas I Makassar, M Rustan, ditangkap polisi pada 20 Oktober 2004 lalu. Saat itu, Rustan menerima uang Rp 400 ribu dari Ikbal. Uang tersebut sebagai imbalan atas jasa memasukkan narkoba ke saudara Ikbal, Agus, yang mendekam di LP. Saat transaksi ini, polisi langsung menangkap Rustam dan menggiringnya ke mobil.
Setelah diproses, Rustan dijatuhi hukuman 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Makassar pada 17 Maret 2005.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siapa nyana, pada 24 Juni 2009 Rustam mendapat SK No: M.HH-93.KP.06.03.Tahun 2009 yang memecat Rustam. Tidak terima, Rustam pun melayangkan gugatan kepada Menteri Hukum dan HAM ke PTUN Jakarta.
Pada 25 Oktober 2010 PTUN Jakarta menolak gugatan tersebut. Lantas Rustam banding. Pada 27 Mei 2011 Pengadilan Tinggi TUN Jakarta membatalkan SK pemecatan Rustan. Alasannya, Rustam telah menerima SK kenaikan pangkat, sehingga SK pemecatan menjadi gugur. Atas kekalahan ini, Menkum HAM lalu mengajukan kasasi dan dikabulkan.
"Menganulir putusan banding PT TUN Jakarta. Memerintahkan Menkum HAM memperbaiki SK No: M.HH-93.KP.06.03.Tahun 2009," putus majelis kasasi seperti dilansir website MA, Senin (15/7/2013).
Dalam pertimbangannya, majelis kasasi yang terdiri dari Achmad Soekardja, Imam Soebchi dan Supandi menyatakan hakim jangan terlalu formalistis. MA menilai hakim di PTUN bisa memerintahkan pejabat TUN untuk memperbaiki keputusannya, khususnya sejak kapan SK tersebut berlaku sehingga tidak melanggar asas retroaktif.
"Putusan PT TUN terlalu formalistis menegakkan asas retroaktif," putus majelis pada 12 Januari 2012 lalu.
Apalagi, menurut MA, perbuatan Rustan sebagai sipir yang bertugas di Lapas tidak pantas melakukan tindak pidana tersebut.
"Sangat membahayakan bangsa dan memang harus dijatuhi hukuman berat," pungkas MA.
(asp/nrl)