Akhirnya, dengan terpaksa dia dan 8 anaknya pindah ke pinggir rel kereta api. Dia mengaku sudah tak punya kampung lagi di Jawa.
"Ya abis enggak kuat ngontrak. Mahal biaya kontrakannya. Anak banyak, suami saya juga udah meninggal," ucapnya saat ditemui di pinggir rel kereta api di Tanah Tinggi, Jakpus, Kamis (11/7/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lami menuturkan kalau dari dulu, sebelum dirinya tinggal, sudah ada penduduk yang tinggal di pinggir rel. Bahkan, menurutnya, dulu begitu ramai sekali kondisinya.
"Sempet dulu banyak gubuk di tengah-tengah. Sekarang enggak ada, cuma di pinggir saja," tambahnya.
Hidup di pinggir rel kereta ternyata punya untung dan ruginya. Ia pun harus siap dengan kondisi jika Satpol PP menertibkan area gubuk pinggir rel yang panjangnya hampir 500 meter.
"Sudah lama juga ini untungnya enggak ditertibin. Ya kasihanin juga lah kita orang enggak punya. Ditertibin udah biasa, suka bongkar-pasang," jelasnya lagi sambil memerhatikan anak-anaknya yang sedang asyik bermain di atas rel kereta.
Di dalam gubuk ibu Lami, tidak terlihat kamar mandi. Memasak pun hanya dengan tungku yang dibakar dengan kayu.
"Mandi pada di WC umum, bayar seribu. Air beli tiga ribu, itu air pikulan. Masak ada, tapi pakai kayu. Listrik nyambung," ungkapnya saat kereta tengah melaju kencang.
Lami terang-terangan mengaku, untuk membiayai anaknya dia berprofesi menjadi pengemis. Pekerjaan itu dilakoni sebagai tuntuntan perut.
"Kita ngemis, apa boleh buat. Kalo nggak gitu gimana coba jalanin hidup kita? Bantuan aja nggak pernah dapat," tandasnya.
(ndr/ndr)