Dengan perbedaan metode ini, maka adakalanya hisab dan rukyah bertemu pada satu titik, sehingga awal puasa atau lebaran bisa sama. Sebaliknya, bisa juga terjadi perbedaan antara hasil hisab dan rukyah, sehingga awal puasa dan lebaran pun menjadi berbeda.
Karena perbedaan metode ini, perbedaan puasa atau Idul Fitri mestinya juga disikapi sebagai hal yang lumrah. Ada kabar dari teman di Kediri bahwa para kiai dan santri di Pesantren Ploso telah berpuasa Selasa, 9 Juli, sementara Pesantren Lirboyo baru akan puasa Rabu, 10 Juli. Dua pesantren ini jelas secara teologis berafiliasi ke NU. Perbedaan awal puasa di dua pesantren NU ini sekaligus menggugurkan pandangan yang menyebut perbedaan puasa sebagai persoalan Muhammadiyah dan NU. Ada kabar juga dari Maroko yang akan mulai puasa Selasa, 9 Juli. Padahal beda waktu antara Indonesia dan Maroko itu tujuh jam. Begitu juga umat Islam di Perancis akan berpuasa pada Selasa, 9 Juli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana tidak dikatakan memperbesar masalah, persoalan yang sebenarnya masuk ranah ikhtilaf masail diniyah justru ditarik pada wilayah kebijakan yang lekat dengan kekuasaan. Bahkan begitu sembrononya Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar begitu berlebihan menyebut kelompok yang berbeda puasa dengan Pemerintah dianggap sebagai tidak taat pada ulil amri.
Pertama, Wamenag baru kali ini (hanya terkait Puasa) menyeret al-Qur'an terkait "ulil amri" sebagai pembenaran teologis. Kalau Wamenag mau bersikap fair gunakan juga istilah ulil amri pada masalah-masalah lain. Beda puasa atau lebaran tak ada kaitan dengan soal ketaatan atau delegitimasi pada ulil amri. Ini murni soal ikhtilaf yang bersifat metodologis. Kalau beda puasa dijadikan sebagai parameter untuk mengukur taat tidaknya pada ulil amri, kenapa Kementerian Agama tidak sekalian saja menetapkan persoalan khilafiah lainnya menjadi kebijakan pemerintah di bidang keagamaan. Misalnya salat subuh harus memakai qunut, salat tarawih harus 20 rakaat, adzan saat salat Jum'at harus dua kali, dan sebagainya.
Kedua, tafsir ayat al-Qur'an Surat An-Nisa: 59 ketika berhenti pada kata ulil amri juga sepertinya tidak tepat. Harusnya berhenti di kata "minkum" (ulil amri minkum, pemimpin di antaramu). "Di antaramu" oleh sebagian mufasir ditafsir sebagai "di antara orang-orang yang beriman", karena ayat ini memang diawali dengan ya ayyuha-alladzina amanu, yang menegaskan bahwa ayat ini diperuntukkan untuk orang yang beriman. Jadi ulil amri konteks ayat tersebut adalah ulil amri yg beriman, maka mafhum mukhalafahnya, kalau sekiranya ulil amrinya tidak beriman tak ada kewajiban untuk taat padanya. Nah, apakah ulil amri Indonesia masuk kategori beriman? Ini tentu ikhtilaf juga, bergantung siapa yang menafsir.
Kasus beda lebaran tahun lalu semestinya menjadi pembelajaran bagi Pemerintah. Pemerintah sebaiknya memang tidak masuk pada wilayah keagamaan yang bersifat ikhtilaf dan furu'. Apalagi pemerintah sampai menunjukkan keberpihakan pada kelompok tertentu, ditambah masuk pula nuansa politis di dalamnya. Sebagai pembelajaran juga, Kementerian Agama adalah institusi yang menangani wilayah yang das sollen bersifat sakral, maka semestinya dijabat juga oleh orang yang tidak mempunyai afiliasi politik tertentu. Sehingga netralitas politiknya diharapkan bisa menjaga kesakralan agama.
Semoga!
*) Ma'mun Murod Al Barbasy, alumnus Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
(asy/asy)