Hal tersebut disampaikan Dosen Fisip Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, M Zaki Mubarak dalam diskusi yang mengupas tentang dilema penanganan terorisme di Indonesia di Wisma Intra Asia, Jalan dr Soepomo, Tebet, Jaksel, Rabu (3/7/2013).
"Selain itu jenis tindak terorisme yang bersifat radikal juga mengalami kenaikan serius pada kurun waktu terhitung sejak 1970 hingga 2007," kata Zaki.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehingga untuk merespon tindakan radikal itu, hingga saat ini pemerintah telah menahan lebih kurang 900 orang yang didakwa sebagai teroris dan sekitar 70 orang telah ditembak mati," jelas Zaki lagi.
Keterlibatan kelompok radikal dalam aksi teror bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejarah mencatat, ada beberapa aksi terorisme yang terjadi.
Zaki mengambil contoh adalah pengeboman di Cikini pada 30 November 1957, aksi kekerasan oleh Darul Islam (DI) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo pada era 1950 hingga 1960-an, hingga peledakan candi Borobudur tahun 1985.
"Alasan utama kenapa kelompok-kelompok ini melakukan aksi radikal, adalah karena ketidakpuasan kepada pemerintahan yang ada. Menurut mereka, tidak adanya Imam (pemimpin) yang baik, menyebabkan negara diambang kehancuran. Selain itu mereka percaya, negara ini terlalu mudah disetir oleh kepemimpinan dunia barat," tuturnya.
Selain itu, tidak diberlakukan syariat Islam secara menyeluruh dan kepercayaan untuk Jihad, dianggap sebagai beberapa alasan lain yang menyebabkan mereka melakukan berbagai tindakan radikal. Melalui aksi pengeboman, mereka berharap hal itu dapat memicu terjadinya revolusi yang dapat menciptakan Imam, dan diberlakukannya syariat Islam secara menyeluruh.
"Ideologi yang mereka dapat dari pendahulu mereka, bagi para kelompok radikal masa kini dianggap sebagai acuan dan alasan kuat untuk melakukan teror agar tujuan mereka dapat tercapai," kata Zaki.
(rni/mok)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini