Menurut tim penasihat hukum Widodo, Edison sebagai ahli malah bertindak memberikan keterangan sebagai saksi. Edison melakukan penilaian terhadap perkara yang sedang diperkarakan.
"Sehingga dia tidak lagi bertindak independen, tidak objektif dan memiliki konflik kepentingan dalam perkara a quo," ujar anggota tim penasihat hukum Widodo, Dasril Afandi membacakan pledoi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (21/6/2013).
Dalam ringkasan pledoi yang disusun, tim penasihat hukum juga mengkritisi tindak tanduk Edison. Penasihat hukum mempertanyakan penulisan identitas yakni sarjana dari Institut Teknologi Bandung.
"Padahal keterangan Rektor ITB, Edison bukan lulusan sarjana ITB tapi Universitas Sumatera Utara," sebut Dasril.
Kebohongan lainnya, Edison mengaku sebagai dosen Universitas Trisakti, namun nyatanya ketika ditanya di persidangan, Edison mengaku dosen di UPN Surabaya.
"Edison Effendi mencontek catatan, tidak menguasasi bioremediasi sebagai ahli," sambungnya.
Tim penasihat hukum Widodo juga mencatat Edison salah mengutip batasan TPH pada tanah terkontaminasi minyak yang diatur dalam Kepmen Lingkungan Hidup.
"Edison Effendi salah mengutip batasan TPH COCS yang dapat dibioremediasi 7,5%-15% padahal ketentuannya 1%-15%," papar Dasril.
Edison juga dinilai memiliki konflik kepentingan sebagai ahli dalam perkara bioremediasi. Sebab Edison pernah menjadi kuasa dari PT Putra Riau Kemari yang pernah mengikuti proses pelelangan proyek bioremediasi PT CPI.
Pada tender tahun 2011, PT Putra Riau Kemari kembali mengikuti tender proyek bioremediasi namun kalah. "Edison punya konflik kepentingan karena 2 kali ikut tender," ujar Dasril.
Widodo dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Widodo dianggap jaksa terbukti memperkaya korporasi yakni kontraktor pelaksana dalam proyek bioremediasi.
(fdn/nrl)