Detikcom bersama beberapa perwakilan forum pemred, berkesempatan melihat langsung pabrik mini pembuatan briket hasil olahan dari sampah batok kelapa muda objek wisata Tanah Lot, Tabanan Bali.
Perjalanan dimulai pukul 09.15 WITA dari lokasi penginapan yang berada di kawasan Nusa Dua, Bali bersama 8 orang teman jurnalis lainnya, kami memulai perjalanan dengan menggunakan mobil sewa. Menurut sopirnya, butuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai ke kawasan Tanah Lot.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budaya lokal serta kepercayaan yang masih kuat jugalah yang menjadikan Bali sebagai salah satu destinasi favorit para wisatawan domestik terlebih dari manca negara.
Saat tiba di kawasan Tanah Lot, kami bertemu dengan puluhan anak kecil dan ibu-ibu yang baru saja pulang bersembahyang di pura. Setelah berkeliling di pura Luhur Tanah Lot, kami lalu diajak oleh tim Danone Aqua untuk melihat proses pengolahan sampah batok kelapa muda yang masih dalam kawasan wisata Tanah Lot, Bali.
"Objek wisata pasti akan selalu menghasilkan sampah dalam jumlah yang besar, khusus di Bali, memang dikhususkan untuk pengolahan batok kelapa karena produksi batok kelapa sangat besar di sini," terang Dirut PT Aqua Golden Missisipi, Parmaningsih Hadinegoro sambil menceritakan mengenai 'pabrik mini' kelompok Gemaripah.
Ya, pengolahan sampah tersebut dilakukan 45 orang yang terkumpul dalam kelompok Gemaripah yang langsung diketuai oleh kepala bagian kebersihan Tanah Lot, I Made Sulindera. Para pesertanya pun diambil dari staff pertamanan, kebersihannya.
Pabriknya memang masih mini, hanya berukuran 4x2 meter yang diisi dengan mesin berskala kecil dan 3 karung briket yang telah siap pakai. Untuk satu kali produksi, hanya dijalankan oleh 4 orang personil. Karena itu, setiap personil, hanya di jadwal masuk produksi sekali dalam seminggu. Ini menjadi salah satu strategi agar ke 45 orang itu pun masih dapat menjalankan tugasnya membersihkan daerah tanah Lot.
Alatnya pun masih tergolong kecil. Hanya terlihat 1 alat penghancur serat kelapa, 1 alat untuk mempres adonan dan oven pembakar. Selain itu juga beberapa ember, kompor gas dan 2 keranjang sampah kelapa muda. Untuk mencampur adonan, panitia memilih cara manual yakni mencampurnya dengan tangan dengan takaran 1:1 antara serat kelapa muda dan serbuk gergaji. Sebagai pelekat, digunakan kanji dengan takaran 220ml untuk 1 kg adonan.
Proses diawali dengan penghancuran batok kelapa muda dengan menggunakan mesin penghancur. Diakui oleh Made, terkadang dibutuhkan sampai empat kali penghancuran agar serat kelapanya dapat terpotong hingga layak produksi.
"Untuk hancurkan batok kelapanya, tidak cukup hanya 1 kali. Biasanya harus kita ulang sampai empat kali. Itupun masih juga belum halus betul," terang ketua kelompok Gemaripah Tanah Lot, I Made Sulindera kepada wartawan di lokasi pabrik.
Selanjutnya adonan itu akan dicampur dalam sebuah baskom bersama dengan serbuk gergaji dan air kanji. Pada proses ini, memang dapat dilihat jika kadar air dari serat kelapa muda masih cukup banyak. Prosesnya persis seperti saat membuat adonan kue. Menurut Made, kelebihan dari pencampuran manual, kita akan merasakan sendiri apakah adonan tersebut sudah tercampur rata atau belum. Setelah selesai mencampur, selanjutnya proses pencetakan dalam alat cetak berbentuk lingkaran dengan berdiameter kurang lebih 7 cm dan tebal 2 cm. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, adonan kemudian dipres untuk memadatkan dan mengurangi kadar air yang masih ada.
"Untuk sekali pres, bisa 4 cetak yang jadi," terang Made.
Setelah dipadatkan, briket setengah jadi tesebut ditata dengan rapi diatas sebuah loyang berukuran 1x1 meter yang alasnya sengaja dibuat berpori (alias bolong-bolong) agar memudahkan pengeringannya.
Proses selanjutnya, yakni proses pengeringan yang dilakukan secara manual dengan bantuan sinar matahari. Sehingga, loyang berisi briket tersebut tinggal diletakkan saja di halaman depan pabrik tersebut. Kalau matahari sedang terik, maka hanya memerlukan waktu 2 hari untuk mengeringkan briket tersebut. Namun, bila cuaca sedang mendung seperti saat kami berkunjung, mereka akan menggunakan oven pembakarnya.
"Kami memang lebih memilih panas matahari. Karena, jika menggunakan oven, kadang malah pecah-pecah. Setelah kami uji hasilnya seperti itu, sampai sekarang kami tidak pernah memakai oven kecuali kepepet," terang Made.
Sekilas memang nampak tak jauh beda briket yang dikeringkan dengan oven dan hasil pengeringan matahari. Hanya saja, jika dipegang maka tekstur pengeringan matahari sedikit lebih padat daripada oven.
"Setelah kering, kita rapikan sabuk yang masih panjang agar bentuknya jelas dan rapi," lanjut Made.
Untuk keseluruhan proses mulai dari penghancuran hingga pengeringan, membutuhkan waktu sekitar 4 hari.
Saat ini, briket buatan kelompok Gemaripah dijadikan bahan pengganti arang untuk berbagai proses pembakaran makanan. Alasannya? Ekonomis. Satu briket dapat dipakai hingga setengah jam lebih lama dibandingkan dengan arang.
Para karyawan disana pun melakukan demo pembakaran ikan kakap dengan menggunakan arang dan briket. Hasilnya yang terlihat memang, dengan perlakukan yang sama, dengan menggunakan briket membuat ikan lebih cepat matang dengan warna kulit tidak sehitam yang menggunakan arang. Soal rasa? Ikan pembakaran briket jauh lebih gurih.
Walaupun belum dipasarkan, tetapi mereka sudah mendapatkan penawaran dari persatuan hotel dan restoran se Bali untuk memasok briketnya sebagai pengganti arang. Selain untuk pihak Universitas Warnadewa tetap menganalisis agar dapat meningkatkan nilai guna dan jual dari briket ini.
"Kami masih meneliti untuk dijadikan aroma terapi dan beberapa fungsi lainnya," pungkas salah satu perwakilan Universitas Warmadewa, I Gusti Bagus Udayana.
(gah/gah)