Kelima perokok itu adalah Mulyana W Kusumah, Hendardi, Aizuddin, Neta S Pane, dan Bambang Isti Nugroho. Mereka mengajukan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Karena soal pajak rokok telah diatur dalam UU No 11/1995 tentang Cukai.
"Ini yang kita minta tidak terjadi double tax. Hak merokok itu konstitusional," kata Mulyana di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (12/6/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apabila rokok dikenakan lagi pajak sebagaimana yang diatur UU PDRD, justru akan menjadi tidak adil karena perokok dibebani pajak dua kali," ujar Hendardi, aktifis Setara Institute ini.
Pemberlakuan UU PDRD yang diujimaterikan pun mengancam kenaikan harga rokok begitu tinggi. Hal ini membebankan para perokok sebagai pemikul pajak rokok terakhir.
"Juga bertentangan dengan prinsip umum pemungutan pajak," ujar Hendardi yang mengaku gemar menghisap cerutu.
Mereka juga menceritakan pengalaman diskriminasi yang terjadi atas pelarangan merokok di sejumlah tempat. Mereka mengklaim uji materi ini untuk membela para petani tembakau Indonesia yang secara tak langsung menjadi korban kampanye anti asap rokok.
"Padahal rokok ini sangat Indonesia. Kretek dilahirkan putra Indonesia sejak dulu. Bicara rokok juga bicara kesejahteraan banyak orang," tambah Neta.
(vid/rmd)