Para anggota parpol koalisi tersebut meneken code of conduct atau kode etik anggota koalisi pada 23 Mei 2012 di kediaman pribadi Presiden SBY di Cikeas, Kab. Bogor. Kesepakatan ini merupakan penyempurnaan tentang Tata Etika Pemerintahan RI 2009-2014 yang ditandatangani pada 15 Oktober 2009.
Para penanda tangannya adalah Ketua Umum PD Anas Urbaningrum, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, Ketua Umum PAN Hatta Rajasa, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan Wakil Presiden Boediono.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nomor urut 5 mengatur apabila ada parpol yang menentang keputusan vital dan strategis harus dicari solusi bersama. Jika tidak diperoleh solusi bersama, parpol yang berbeda pendapat dapat mengundurkan diri dari koalisi. Kalau tidak mengundurkan diri maka pada hakikatnya kebersamaan di koalisi berakhir dan presiden berhak mencopot menteri.
Karena itu jika mengacu pada kode etik koalisi, harusnya PKS otomatis tak lagi di koalisi. Namun menurut PD, kode etik koalisi berlaku setelah PKS mengambil sikap resmi. Artinya kode etik berlaku bila PKS resmi menyampaikan sikap menolak kenaikan harga BBM di DPR.
Berikut bunyi aturan nomor 5 yang menyangkut keberadaan partai koalisi yang membangkang koalisi:
Bilamana terjadi ketidaksepakatan terhadap posisi bersama koalisi, terlebih menyangkut isu yang vital dan strategis, seperti yang tercantum dalam butir 2 tersebut di atas yang justru dituntut kebersamaan dalam koalisi, semaksimal mungkin tetap dilakukan komunikasi politik untuk menemukan solusi yang terbaik.
Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, maka parpol peserta koalisi yang bersangkutan dapat mengundurkan diri dari koalisi. Manakala parpol yang bersangkutan tidak mengundurkan diri pada hakikatnya kebersamaannya dalam koalisi parpol telah berakhir.
(van/try)