Acara tingalan jumenengan itu diselenggarakan oleh Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta. Mereka sejak awal bersikeras tetap akan melaksanakan acara tradisi tahunan itu meskipun sang raja tidak hadir. Alasannya kehadiran raja bukanlah sebuah syarat mutlak dalam peringatan kenaikan tahta. Yang wajib ada, menurut mereka, adalah pergelaran Bedhaya Ketawang, sebuah tarian sakral milik keraton.
Namun tudingan keras datang dari pendukung PB XIII. GPH Suryo Wicaksono, menegaskan acara itu ilegal karena sejak awal PB XIII telah melarangnya. Sang raja, kata Wicaksono, tidak berkenan dengan lembaga bentukan sebagian kerabat keraton tersebut karena dinilai arogan dan sering bertindak melangkahi wewenang raja. Lembaga tersebut juga menolak rekonsiliasi kerabat keraton.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mendapat ancaman dipolisikan, pihak dewan adat justru memilih menanggapi secara dingin. KP Eddy Wirabhumi, salah satu pendukung dewan adat, menilai ancaman itu tidak berdasar karena dia yakin ancaman itu hanya pernyataan pribadi Suryo Wicaksono. Dia menegaskan, PB XIII memang tidak hadir dalam acara tersebut namun pada dasarnya mengetahui dan tidak melarang.
"Tadi pagi beliau (PB XIII) menghubungi salah satu kerabat dekat menyatakan bahwa sebenarnya ada keinginan untuk datang pada acara tradisi itu, namun untuk menjaga situasi beliau mengatakan lebih baik tidak hadir untuk menenangkan diri di suatu tempat di luar kota. Itu artinya beliau tahu dan mengijinkan namun hanya berhalangan hadir saja," ujar Eddy.
Namun pernyataan Eddy ini juga dibantah oleh Wicaksono. Dia yakin sejak awal PB XIII telah memerintahkan peringatan kenaikan tahta tahun ini diundur pelaksanaannya tanpa batas waktu karena situasi yang belum kondusif mengingat seluruh kerabat yang telah menyatakan kembali bersatu hingga saat ini belum bisa kembali masuk ke keraton karena ditolak oleh dewan adat.
(mbr/try)