Wanita yang tidak disebutkan namanya ini menyatakan, dirinya terpaksa menikah di bawah tekanan keluarga sang suami. Seperti dilansir news.com.au, Senin (3/6/2013), wanita ini mengajukan permohonan ke pengadilan keluarga setempat untuk membatalkan pernikahannya.
Menurut wanita ini, dirinya pertama bertemu dengan suaminya di acara gereja tak lama setelah kematian istri pertama sang suami. Mereka kemudian menjalin hubungan asmara dan memutuskan tinggal bersama. Wanita ini bersikeras bahwa dirinya mendapat banyak dorongan dari keluarga sang suami dan juga pihak gereja untuk menjalin hubungan dengan pria yang baru saja ditinggal istrinya tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hampir setiap hari, pria ini membicarakan almarhum istrinya. Sebagai kekasih yang juga calon istrinya, wanita ini merasa tidak nyaman hidup di dalam bayang-bayang kematian orang lain.
Beberapa hari sebelum pernikahan mereka, wanita ini pergi dari rumah dan menetap di kediaman temannya selama seminggu. Pada saat itulah, wanita ini mendapat banyak dorongan dan tekanan dari keluarga si pria, teman dan juga pendetanya untuk tetap menjalani pernikahan tersebut.
Wanita ini akhirnya menikahi pria tersebut. Namun dia mengaku, hal ini dilakukannya karena mendapat banyak tekanan.
Dalam menjalani pernikahan, wanita ini merasa obsesi suaminya semakin parah. Dia pun sempat mengalami depresi pada tahun 2008. Ada dua dokter yang memeriksa wanita ini dan menyatakan bahwa dirinya belum siap secara mental untuk menjalani pernikahan.
Oleh karena itu, dia ingin membatalkan pernikahannya ini. Wanita ini berargumen, kondisi mental dan tekanan yang didapatnya dari keluarga, suami dan pendetanya semakin menyiksanya.
Namun sayangnya, pengadilan menolak permohonannya. Hakim beralasan, keputusan pembatalan pernikahan tidak bisa diberikan dengan mudah. Hakim juga menyebut, catatan medis wanita ini tidak cukup kuat untuk menunjukkan depresi yang dialami wanita ini.
(nvc/ita)