Kisah Tukang Ojek di Stasiun Juanda, Keluar Kantor Turun ke Jalan

Kisah Tukang Ojek di Stasiun Juanda, Keluar Kantor Turun ke Jalan

- detikNews
Kamis, 30 Mei 2013 07:13 WIB
Tukang ojek menanti penumpang (Bilkis/ detikcom)
Jakarta - Stasiun kereta memang selalu memiliki sejuta cerita. Termasuk masa lalu beberapa orang yang sebelumnya bekerja di kantoran, berhenti dan memilih menjadi tukang ojek.

Namanya Rio, sebelum memutuskan menjadi tukang ojek, ia adalah seorang pelayan yang merangkap kasier disebuah court Mall ternama di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat.

Terlahir dari keluarga yang kurang mampu membuatnya menjadi sosok yang keras dan pekerja keras. Ia telah mengakrabi lingkungan stasiun Juanda sejak ia kecil. Karena bersekolah di SMEA 1 Jakarta Pusat, membuatnya sering bergaul di sekitar stasiun Juanda.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tahun 2007, usai menyelesaikan studinya di sebuah sekolah kejuruan, ia sempat menjadi pengangguran dan mencoba berbagai pekerjaan hingga akhirnya ditahun 2010 ia memutuskan untuk bekerja.

"Tidak mau nyusahi orang tua saja, cukuplah dengan sekolah sampai selesai," kata Rio (22) saat ditanya alasannya tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi.

Malang tak dapat ditolak, ia ternyata tidak memiliki kesepahaman dengan beberapa karyawan di tempatnya bekerja. Pertengkaran pun tak dapat dielakkan. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti bekerja.

Karena terbiasa bekerja, baru sebentar saja tinggal dirumah, ia mengaku tidak betah dan memutuskan untuk mengojek. "Daripada nganggur, mending ngojek," ujar Rio sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.

Rutinitasnya setiap hari, mulai pukul 05.00 WIB, ia bersama kakaknya berangkat dari rumahnya di daerah Tangerang menuju Stasiun Juanda. Mereka memang hanya mengojek di stasiun Juanda.

"Saya ngojeknya siang, kalau pagi abang saya," lanjut Rio.

Rio bercerita, pada awalnya ia memang merasa kagok dengan perubahan pekerjaannya. Terlebih karena sebelumnya ia selalu berada diruangan yang sejuk namun tiba-tiba merasakan terpaan sinar matahari yang terik. Berpeluh dan terkena debu serta asap knalpot. Namun, seiring berjalan waktu, kini ia sudah terbiasa.

"Dulu kan selalu diruangan ber-AC tiba tiba dapat matahari ya kaget lah," terang lelaki berkacamata ini.

Tidak hanya beradaptasi dengan lingkungan dan cuaca, pola hidupnya pun berubah seiring dengan perubahan pendapatannya. Dulunya, sebulan ia berpenghasilan Rp. 2,2 juta namun kini, sehari ia hanya mendapatkan Rp. 100 ribu hingga Rp. 200 ribu.

"Kalau dikalkulasi sih gede, tapi kan itu dapatnya perhari. Ya habis juga kadang. Jadi kadang nggak berasa saja habisnya. Kalau dulu kan terasa banyak karena sekalian," terangnya sambil tertawa.

Sambil memperhatikan penumpang kereta api yang turun, ia menjelaskan jika ia tidak ingin terus menerus menjadi tukang ojek. Ini hanya dilakukannya sampai ia berhasil mendapatkan pekerjaan tetap lagi. Tentu saja, mendapatkan pekerjaan dikota Jakarta tidak bisa dengan mudah. Puluhan lamaran dilayangkannya tetapi hingga saat ini belum ada panggilan untuk wawancara.

"Saya maunya kerja di kantoran lagi. Sekarang masih apply juga di beberapa perusahaan," ucapnya.

Ia lalu bercerita tentang harapannya dimasa depan, ia mau mencari pekerjaan dan rejeki sebanyak-banyaknya. Setelah itu baru melamar wanita yang saat ini dipacarinya.

Sayang, perbincangan kami harus terhenti karena kedatangan seorang pria paruh baya yang ternyata adalah langganan ojeknya.

"Makasi ya mba sudah mau dengar curhat saya, saya narik dulu," pamitnya.


(mpr/mpr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads