"Mengurai kemacetan di Jakarta sama dengan menguraikan kebebasan agama di Indonesia yaitu negara sering nggak hadir. Begitu juga dalam kemacetan, itu polisi mana nih," kata Akil ketika menerima Wahid Institute di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (29/5/2013).
Akil lalu bernostalgia ketika dirinya menjadi anggota DPR periode 1999-2004. Saat itu dia mengejar waktu buka puasa di rumah di daerah Pancoran cukup 10 menit dari Senayan. Namun kini hal itu sudah tidak mungkin lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kemacetan, siapa yang paling kuat, maka dia yang paling cepat sampai. Dengan kawalan voorider atau seseorang yang kerap menggunakan jalan tol mampu sampai tempat tujuan lebih cepat di tengah kemacetan Jakarta.
"Sebenarnya anekdot itu, menunjukkan betapa kesenjangan bagi kita. Untuk yang masuk tol mungkin ratusan ribu rupiah biasa saja," ujar ayah dari dua anak ini.
Akil lahir pada 18 Oktober 1960 di pedalaman Kalimantan Barat. Selepas SMA dia merantau ke Pontianak untuk meraih gelar sarjana hukum. Karena keterbatasan dana, dia pernah menjadi tukang semir sepatu dan sopir truk pick up untuk membayar biaya kuliah.
Usai menggondol gelar SH, dia menjadi pengacara pro bono dan menjadi anggota DPR usai reformasi '98. Gelar doktor ilmu hukumnya diraihnya dari Universitas Padjadjaran, Bandung.
Saat duduk di DPR untuk periode kedua, Akil memilih menjadi hakim konstitusi pada 2009 dan dilanjutkan untuk periode kedua pada 2013. Pada April lalu, dia terpilih menjadi Ketua MK menggantikan posisi Ketua MK Mahfud MD.
(vid/asp)