"Indonesia telah memiliki mekanisme hukum untuk proses peradilan terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan serangkaian regulasi lainnya yang secara terbatas telah mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam Statuta Roma," kata anggota Komisi Masyarakat Sipil Indonesia (KMSI), Indri Dewi Saptaningrum siaran pers yang diterima redaksi, Jumat (24/5/2013)
Indri menjelaskan ratifikasi Statuta Roma justru akan memberikan manfaat kepada Indonesia. Salah satunya, memberikan kesempatan yang luas bagi Indonesia untuk terlibat aktif dalam perdamaian dunia dan pencapaian keadilan global serta serta memastikan adanya perlindungan Hak Asasi Manusia bagi seluruh warga negara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, maka KMSI justru mendesak pemerintak untuk melanjutkan pembahasan retifikasi Statuta Roma. Sebagai langkah konkritnya, menyelesaikan naskah akademis dan RUU Pengesahan Ratifikasi dan segera menyerahkan ke DPR untuk dibahas bersama.
"Koalisi mendesak bahwa agenda ratifikasi Statuta Roma 1998 harus terus dilanjutkan. Kementerian Pertahanan, Luar negeri dan Kementerian HUKUM dan HAM harus duduk bersama secara lebih serius membahas berbagai perbedaan pandangan tentang ratifikasi Statuta Roma ini," jelas Indri.
Namun, tidak hanya kalangan kemeterian, namun dialog terbuka juga diperlukan antara pemerintah, DPR dan masyarakat sipi, akademisi serta bebrbagai pihak membahas ratifikasi Statua Roma.
"Dengan adanya dialog transparan maka akan meluruskan berbagai persepsi yang keliru tentang Statuta Roma dan Mahkamah Pidana Internasional," pungkasnya.
Sebelumnya, Indonesia diwakili oleh menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayama terbang ke Den Hag bersama rombongan bertemu dengan Sekjen Kemlu Belanda, Renee Jones-Bos. Salah satu pembahan terpenting disana yakni Internasional Criminal Court (ICC)
(mok/mok)