"Eksekusi mati tahun 2013 ini tidak bisa dilepaskan dari politik elektoral 2014. Eksekusi mati di Indonesia kental dengan upaya membangun popularitas politik di tengah elektabilitas yang runtuh," kata Direktur Program Imparsial, Al Araf, di kantor YLBHI, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2013).
Eksekusi mati dinilai sebagai isu yang seksi dan dapat menarik simpati publik. Emosi publik bisa dimainkan politisi penguasa jika dendam masyarakat bisa diakomodasi lewat hukuman mati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, dan Elsam kompak menolak hukuman mati karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut mereka, hukuman mati itu adalah hukum kuno dan purba, tidak lagi cocok di era moderen.
"Cara retributif, termasuk hukuman mati, adalah teori yang purba, tidak manusiawi. Dulu, ada ungkapan nyawa dibalas nyawa atau tangan dibalas tangan, dan sejenisnya. Di zaman moderen, ini harus diubah menjadi restoratif," pungkas Deputi Direktur Elsam Zainal Abidin.
Ibrahim dan Jurit dijatuhi hukuman mati karena melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama terhadap Soleh pada tahun 1997. Selain membunuh, Ibrahim dan Jurit yang dibantu oleh Dani dan Sofyan juga memutilasi Soleh.
Adapun Suryadi Swabuana alias Edi Kumis alias Dodi bin Sukarno merupakan terpidana pembunuhan dan pencurian di Palembang. Ketiganya saat ini mendekam di LP Nusakambangan.
Soal eksekusi mati ini dibenarkan Kejaksaan Agung (Kejagung). Tetapi Kejagung tidak membocorkan hari pelaksanaan penembakan ketiga pembunuh sadis tersebut.
"Insya Allah, dalam waktu dekat ini," kata Jaksa Muda Pidana Umum (Jampidum) Mahfud Manan.
"Bulan ini atau bulan Juni?" tanya detikcom.
"Bulan Mei," jawab Mahfud tanpa mau menyebut tanggal eksekusi dengan pasti.
(dnu/asp)