Melalui Historun, yang diinisiasi oleh PPI Leiden bekerjasama dengan Presidium PPI Belanda, semangat kebangsaan Indonesia yang memang tidak homogen, melainkan peleburan berbagai macam etnik, bahasa, dan budaya itu dicoba ditangkap ulang.
Kegiatan menyusuri jejak-jejak perjuangan Bapak Bangsa di Leiden dan bagaimana menemukan kembali keping demi keping babak sejarah pembentukan bangsa itu diselenggarakan pada Sabtu (11/5/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terpampang di museum ini, "Indonesia dihuni oleh lebih dari 300 kelompok etnik, masing-masing dengan bahasa dan budayanya sendiri. Negara kepulauan ini terletak pada simpang jalur perdagangan dunia, sehingga selama berabad-abad dipengaruhi oleh budaya-budaya dan agama-agama dari Timur dan Barat..."
Lebih dari 300 etnik, bahasa dan budaya. Negara Indonesia terbentuk bukan oleh kehendak dan perjuangan satu etnik yang homogen, melainkan dari berbagai macam latar belakang yang ragamnya lebih dari 300 itu.
Pun nama-nama Achmad Soebardjo, Soetan Sjahrir, Hoesein Djajaningrat, Parlindoengan Loebis, R.M. Sosrokartono, R. Soemitro dan Soetan Casejangan Soripada, sekadar menyebut beberapa pelajar di Leiden pada awal abad ke-20, adalah lansekap kebhinnekaan yang bertekad membentuk negara bangsa Indonesia dengan membebaskannya dari penindasan kolonial Belanda.
Dibandingkan gelora perjuangan di tanah air untuk membebaskan diri dari eksploitasi dan penindasan Belanda, gerakan Achmad Soebardjo dkk di Leiden itu adalah sekeping dari sekian keping puzzle Indonesia yang berbhinneka.
Dari 80 anggota PPI peserta Historun dari berbagai kota di Belanda, sebagian bahkan datang dari Prancis dan Jerman, juga terdapat 80 macam ragam yang tidak sama. Ada saudara Tionghoa, Minang, Sunda, Batak, Jawa, Nusa Tenggara dan lainnya.
Sehingga kalau sekarang misalnya ada orang Banten merasa bukan bagian dari Indonesia karena bahasanya bukan Batak dan kulitnya beda, maka itu asejarah. Sudah lampau sejak dicetuskan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Historun di Leiden juga dapat membuka horizon dan wawasan bahwa gagasan negara etnik tunggal dengan menegasi etnik-etnik lain itu nyaris utopia. Apalagi di era kini di mana mobilitas orang dan interdependensi negara satu dengan lainnya sangat tinggi. Selama menyusuri kota Leiden, terlihat hiruk pikuk orang beragam etnik dan warna kulit: bule, cokelat, hitam, kuning. Belanda sendiri sejak abad pertengahan komposisi warganya sudah multietnik.
"Bagi saya perjalanan Historun ini menjadi pengingat agar kita sebagai pelajar tidak hanya punya tanggung jawab menuntut ilmu tapi juga memperjuangkan kedaulatan Indonesia. Tantangan buat pelajar Indonesia di luar negeri, apakah bisa menjadi duta dan diplomat ulung dalam memperkenalkan Indonesia di mata dunia sebagaimana para Bapak Bangsa ini dulu di Belanda," ujar Sekjen PPI Belanda Ridwansyah Yusuf Achmad (Bersambung).
(es/es)