“Boleh saja ada ramai perayaan, tapi yang penting saya dapat uang dulu buat makan,” ujar Jack, seorang kuli angkut ikan di Pasar Boswezen. Padahal Sorong tengah menjadi tuan rumah peringatan 50 tahun integrasi Irian Barat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Papua Barat Jimmy Demianus Ijie, yang juga ketua panitia peringatan itu, mengatakan peringatan yang jatuh tiap 1 Mei ini akan dibuka Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo serta dimeriahkan dengan pelbagai acara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kami hanya jadi penonton di daerah kami sendiri,” ujar Amelia Bless, seorang warga Sorong. “Ekonomi pun dikuasai orang lain.” Kota Sorong memang tak bisa mewakili kondisi Papua seluruhnya. Tapi apa yang terjadi di sana juga terjadi di sejumlah daerah lain di luar Papua.
Masih banyak warga asli Papua yang belum merasakan arti integrasi. Jangankan ikut merayakan, hidup sehari-hari saja masih jauh dari kata sejahtera meski berlimpah sumber daya alam. “Itu wujud akumulasi kekecewaan orang Papua,” kata Jimmy.
“Orang Papua masih merasa dipandang sebelah mata, terutama oleh pusat,” tutur politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mewanti-wanti. “Harus ada keseriusan pemerintah membangun kembali rasa percaya orang Papua.” Lantas seperti apa kehidupan warga Papua setelah 50 tahun integrasi?
Melalui edisi khusus bertajuk “50 Tahun Integrasi Irian Barat ke NKRI” ini, kami berupaya menggambarkan masalah dan harapan warga Papua selama ini lewat edisi hari serta besok. Kami juga melengkapinya dengan wawancara pelaku sejarah.
Selamat membaca.
Tulisan ini sudah dimuat di Harian Detik edisi Senin, 13 Mei 2013.
(nwk/nwk)