"Menyatakan terdakwa Herland bin Ompo terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," ujar hakim ketua Sudharmawatiningsih membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor, Jalan HR Rasuna Said, Jaksel, Rabu (8/5/2013).
Majelis hakim juga menghukum Herland membayar uang pengganti US$ 6,9 juta. Uang pengganti dibebankan kepada PT Sumigita Jaya sebagai kontraktor pekerjaan bioremediasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Majelis hakim menyatakan perusahaan Herland tidak mengantongi izin pengolahan limbah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. "Perusahaan terdakwa tidak memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup sebagai pihak yang berwenang memberikan izin," ujar hakim anggota Octavianus Widjantono.
Sedangkan pelaksanaan pekerjaan bioremediasi yang dilakukan PT Sumigita juga tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 128/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah.
Proyek bioremediasi yang dikerjakan PT Sumigita berdasarkan kontrak dengan PT Chevron dinyatakan merugikan keuangan negara US$ 6,9 juta. Kerugian ini terjadi karena PT Chevron sebagai pemilik limbah hasil pengolahan minyak, memperhitungkan biaya proyek bioremediasi dengan mekanisme cost recovery. Padahal proyek bioremediasi dinyatakan melanggar hukum.
"US$ 6,9 juta dimintakan pengembaliannya kepada negara dengan mekanisme cost recovery," tutur Octavianus.
Dalam putusan ini, hakim anggota Sofialdi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurutnya, Herland tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan.
Atas putusan ini, Herland dan jaksa penuntut umum menyatakan banding.
Kemarin (7/5) malam, majelis hakim memvonis Direktur PT Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri dengan hukuman 5 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 2 bulan dan uang pengganti US$ 3,089. Ricksy juga terbukti bersalah dalam proyek bioremediasi PT Chevron.
(fdn/mad)