"Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief tidak etis mengomentari putusan hakim agung yang memutuskan perkara berdasarkan UU yang dengan tegas mengatur ketentuan pidana pada pasal yang didakwakan secara sah," kata hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun dalam pesan pendek kepada wartawan, Kamis (2/4/2013).
Putusan yang dimaksud adalah putusan nomor 687 K/Pid.Sus/2012 dengan terdakwa Tjioe Christina Chandra. Vonis ini dijatuhkan oleh ketua majelis hakim Zaharuddin Utama dengan anggota majelis Prof Dr Surya Jaya dan Prof Dr Gayus Lumbuun. Putusan ini sesuai UU Ketenagakerjaan yang masih sah dan berlaku yaitu Pasal 90 ayat 1 jo Pasal 185 ayat 1 UU No 13/2003.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena UU ini masih berlaku dan sah, maka MA memutus perkara itu konstitusional. Gayus menyesalkan sikap Arief yang tidak mendukung putusan yang berdasarkan UU itu.
"Hakim agung memutuskan perkara berdasarkan hukum untuk memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Hakim MK tersebut berpotensi melanggar etika," cetus Gayus.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur pun menegaskan, hingga hari ini pasal itu masih berlaku, belum direvisi atau dicabut. "Pasal 90 ayat 1 jo Pasal 185 ayat 1 adalah tentang Ketentuan Pidana dalam UU Ketenagakerjaan dan tidak termasuk pasal yang dibatalkan dalam putusan MK," ujar Ridwan.
Dalam wawancara dengan wartawan di kantornya, Arief menyatakan tidak seharusnya pengusaha dipidana karena mengupah buruh di bawah UMR. Alasan Arief, hubungan perburuhan adalah keperdataan murni.
"Yaaaa, mustinya apakah itu bisa kena pidana? Perjanjian itu kan aspek perdata, kalau tidak dipenuhi kan ya gugatan perdata, bukan pidana. Kalau hubungan perburuhan itu hubungan perdata," kata Arief.
"Sebagai penegasan, perjanjian kerja itu masuk pidana atau perdata?" tanya wartawan.
"Perjanjian kerja itu perdata. Nggak terkait dengan pidana kalau saya melihat itu," jawab Arief.
(asp/nrl)