Pasal Soal Pemblokiran Dana Teroris di UU 9/2013 Dikritik

Pasal Soal Pemblokiran Dana Teroris di UU 9/2013 Dikritik

- detikNews
Kamis, 02 Mei 2013 12:16 WIB
ilustrasi Densus 88
Jakarta - DPR mengesahkan UU No 9/2013 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Teroris (PPTPPT). Peraturan tersebut nantinya mengatur bagaimana menindak dan memproses hukum korporasi atau individu yang memberikan perbantuan modal kepada kelompok teroris. Namun, terdapat kewenangan unik di salah satu pasal Undang-undang tersebut, yaitu pemblokiran harus dilakukan oleh PN Jakarta Pusat.

Pembahasan mengenai pemblokiran ada di Bab VI pasal 22 hingga pasal 26. Pada pasal 23 ayat (2) berbunyi "Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 dilakukan PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk meminta atau memerintahkan PJK atau instansi berwenang untuk melakukan pemblokiran".

"Kalau pemblokiran perlu penetapan pengadilan, dikhawatirkan uang akan cepat berpindah. Pemblokiran penyidik tidak perlu penetapan pengadilan. Lain dengan penyitaan yang memerlukan penetapan pengadilan," kata eks Ketua Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan tersebut disampaikan Yunus dalam Seminar 'Implementasi UU No 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme', di Merlyn Park, Jl Hasyim Azhari, Jakarta Pusat, Kamis (2/5/2013).

Kritik juga dilayangkan Hakim Agung Syarifudin. Dia mempertanyakan proses beracara terhadap bagaimana melakukan penetapan pemblokiran tersebut.

"Perlu dikaji lebih mendalam apa dan bagaimana membuat penetapan untuk pemblokiran di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat?" kata Syarifudin.

Syarifudin juga mempertanyakan mengenai kewenangan pengajuan keberatan terhadap pemblokiran yang dilakukan penyidik, penuntut umum, dan PPATK. Pemblokiran sendiri dilakukan 30 hari, dan pihak yang diblokir dapat mengajukan keberatan terhitung 14 hari sejak dia mengetahui rekeningnya diblokir bank.

"Ini tidak bisa dipungkiri, karena yang diblokir itu haknya, sehingga dia berhak mengajukan keberatan perdata dan itu memang hak yang dilindungi undang-undang," kritik Syarifudin.

UU No 9/2013 baru terlahir di medio Maret 2013, diusung oleh Komisi III yang panitian khusus pembahasannya dipimpin oleh mantan Wakapolri Komjen (Purn) Adang Daradjatun.

Menurut Adang, pembentukan perundangan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa aspek yuridis, salah satunya adalah ratifikasi konvensi Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1373 dan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme 1999 yang berdasarkan pada UU No 6/2006.

"Jadi tidak perlu ada keraguan mengenai Undang-undang Nomor 9 tahun 2013 ini, tidak ada titipan asing, karena kita sudah menandatangani konvensi dan Indonesia masuk sebagai anggota PBB," jelas Adang dalam pembukaan seminar.

(ahy/mpr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads