Sang paman Ruslan Tsarni yang tinggal di Maryland, AS seperti dilansir New York Times, Senin (22/4/2013), mengaku menyadari perubahan pada diri keponakannya pada tahun 2009. Tsarni kemudian meminta bantuan seorang kerabatnya untuk mencari tahu apa yang terjadi pada kakak Dzhokhar Tsarnaev, yang kini terbaring tak berdaya di rumah sakit.
"Saya terkejut ketika mendengar kata-katanya (Tamerlan), ucapannya, setiap kata yang diucapkannya diawali dalam nama Tuhan. Saya menanyakan apa pekerjaan dia, dan dia mengklaim dirinya memasrahkan semuanya kepada takdir Tuhan. Itu menjadi perhatian besar bagi saya. ... Itu bukanlah keyakinan, melainkan hal lain, yang bisa disebut radikalisasi. Saya tidak memahami apa yang dia bicarakan. Dia hanya berkata-kata dengan kata-kata yang dia tahu dan tidak memahami artinya," jelasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Orang yang masih misterius itu, disebut-sebut berhasil mencuci otak Tamerlan. Sang paman mengungkapkan percakapannya dengan Tamerlan pada tahun 2009 silam. Saat itu, Tsarni melihat, keponakannya seperti kehilangan harapan hidup.
"Anak-anak muda semacam ini, yang tidak mampu mengatasi masalah pribadi mereka memang menjadi sasaran empuk," tutur Tsarni kepada media Inggris, Sunday Times, dan dilansir New York Post.
"Dia (orang misterius-red) semacam mencuci otaknya," imbuh Tsarni yang berprofesi sebagai pengacara ini.
Meski mengaku tidak mengetahui pasti siapa yang meradikalisasi Tamerlan, Tsarni menyebut orang tersebut berasal dari Armenia. "Saya ingin menekankan bahwa dia (kenalan) merupakan keturunan Armenia," ucapnya. Armenia termasuk dalam ras Kaukasia yang sebagian besar penduduknya penganut Kristen.
Lebih lanjut, Tsarni menyebut, Tamerlan sengaja mempengaruhi dan mencuci otak Dzhokhar, sang adik. Tsarni bahkan sempat menyebut Tamerlan sebagai pengecut.
"Dia (Dzhokhar) hanyalah korban dari kakaknya... Kakaknya membawanya ke situ. Dzhokhar hanya seorang anak yang ingin memiliki kakak yang menjadi panutan. Selain sebagai seorang pembunuh, Tamerlan sebenarnya kakak yang penyayang," ceritanya.
"Jadi, yang disebut radikalisasi tersebut memang terjadi di sini (AS-red), tidak di Kaukasia, tidak di Rusia, tidak di Chechnya, yang sama sekali tidak ada kaitan dengan kasus ini," tandas Tsarni.
(nvc/ita)