"KPU punya semangat untuk melindungi hak konstitusional pemilih, ketika orang menjadi calon dia kampanye saya calon partai A, dengan kontrak sosial yang berlangsung 5 tahun. Maka idealnya orang menghormati konstitusional pemilih untuk menjadi anggota partai A selama 5 tahun," kata Arif Budiman saat ditemui di ruang kerjanya di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakpus, Jumat (19/4/2013).
Menurutnya, Undang-undang menyebutkan bahwa seseorang hanya boleh menjadi anggota di satu partai, maka jika berpindah partai dia harus mundur dari partai asal. Bagi anggota dewan, maka mundur juga dari parlemen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Maka ketika tidak lagi menjadi partai A, berhakkah dia mewakili partai A di dewan?," lanjut Arif.
Ia menuturkan, atas alasan itulah peraturan KPU dibuat untuk memberi kepastian bahwa caleg hanya menjadi anggota di satu partai politik sebagaimana amanat undang-undang.
"Jadi ketika daftar (sebagai caleg partai lain) dia telah mundur dari partai sebelumnya, kedua dia menyatakan mundur sebagai anggota DPRD yang dibuktikan dengan SK pemberhentian. Kalau belum dapat SK, maka surat bahwa SK sedang diproses," ungkap Arif.
"Logikanya kalau dia tidak lagi menjadi anggota partai A maka dia tidak bisa mewakili partai A di parlemen," lanjut Arif.
Sementara soal ancaman peraturan KPU yang akan digugat ke MK, menurutnya silakan saja. Keputusan MK pasti memberi jalan bagi KPU untuk menyelesaikan ini.
Bagaimana kalau keputusan MK meminta memundurkan pendaftaran DCS?
"Sampai dengan hari ini tidak ada putusan lain kecuali yang telah dibuat KPU," jawabnya.
Peraturan yang diprotes Yusril adalah Peraturan KPU nomor 13 tahun 2013 pasal 9 tentang syarat pencalegan. Dalam peraturan itu bagi anggota DPR/DPRD yang menjadi caleg dari partai lain harus mengajukan surat pengunduran diri dan surat pemberhentian dari pimpinan DPR/DPRD.
Menurut Yusril, tidak ada kewenangan KPU agar pimpinan DPR/DPRD memberhentikan anggota yang nyaleg dari partai lain, cukup keterangan ia berhenti dari partai asal. Karenanya ia akan menggugat aturan itu ke Mahkamah Konstitusi.
(bal/fdn)