"Reaksi anak-anak memang macam-macam. Tapi memang ada kekecewaan yang luar biasa," ungkap pakar pendidikan Prof Dr Wuryadi kepada wartawan usai memantau pelaksanaan UN di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, Senin (15/4/2013).
Sebelum ditunda, lanjut Wuryadi, mereka sudah siap secara mental untuk mengikuti ujian. Namun begitu ditunda kondisi psikologisnya pasti berubah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, kredibilitas sekolah, guru maupun pemerintah daerah juga sangat dirugikan dengan penundaaan tersebut. Sebab mereka juga sudah mempersiapkan dengan baik sebelumnya.
"Saya kira ini perlu perencanaan yang lebih matang lagi. Meski sudah diakui beberapa pihak penundaan ini akibar masalah teknis percetakan dan distribusi soal di daerah-daerah pelosok atau terpencil. Faktor keluasan daerah terutama di wilayah Indonesia tengah dan timur," katanya.
Dia menambahkan pemerintah seharusnya memikirkan materi ujian nasional untuk siswa di Pulau Jawa, Sumatera dengan di daerah-daerah Indonesia Timur atau wilayah terpencil yang berbeda-beda. Sebab kemampuan siswa maupun guru di semua daerah tidak samaa.
"Kalau disamakan agak berat karena kemampuan yang berbeda baik siswa maupun guru pengajarnya," katanya.
Dia mencontohkan sekolah di tengah Kota Yogyakarta dengan di daerah pinggiran di wilayah DIY juga berbeda. Dengan demikian di daerah lain terutama di daerah pelosok atau terpencil pasti juga akan berbeda. "Hasil ujian pun pasti akan berbeda," katanya.
Sebagai anggota Dewan Pendidikan DIY, pihaknya juga sudah mengusulkan kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan hendaknya UN tidak dijadikan penilaian pokok untuk menentukan kelulusan siswa. Namun yang menentukan kelulusan adalah sekola dan guru masing-masing.
"Yang kita usulkan dulu proporsi untuk menentukan kelulusan, siswa yang belajar 3-6 tahun bobotnya 3. Sedangkan ujian sekolah dan UN bobot nilai 1. Namun pemerintah mengambil kebijakan prosentase dikurangi UN bobot 60 persen dan ujian sekolah 40 persen. Namun itu kami nilai belum pas," pungkas Wuryadi.
(bgs/try)