Jika dibenar-benarkan, maka Jangka Jayabaya benar adanya. 'Kalau sudah ada umbul-umbul klaras (bendera daun pisang kering) berkibaran di Nusantara, maka itu tanda tidak ada lagi harga diri dan jatid iri'. Saat itu semua orang meyakini diri sebagai sampah. Sampah pikiran, niat, dan langkahnya ke depan. Hedonisasi menjadi tuhan. Harta dan jabatan itulah yang dituhankan.
Tanda-tanda itu sudah terbenarkan. Partai politik tidak lagi berideologi. Tidak beragama. Juga tidak nasionalis. Semuanya sama. Tujuannya hanya mencari jabatan, mencari kekayaan. Cara meraih itu berpedoman pada idiom Machiavelli, menghalalkan segala cara. Maka korupsi sah, menipu legal, dan filosofi Sofia yang dinegasikan masa Aristoteles menjadi keniscayaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaman satu dimensi ini, kata Albert Camus, memang konsekuensi logis peradaban. Manusia pada tingkat ini dihadapkan pada realitas kompetitif, homo kehilangan sapiens, dan manusia berubah sebagai binatang yang lebih buas dan ganas dibanding binatang itu sendiri. Maka solusi Albert Camus sama dengan Ronggowarsito, 'sak begja-begjane kang edan, isih luwih bejo kang eling lan waspada'. Seberuntung yang edan masih lebih beruntung yang ingat dan waspada. Ingat sebagai manusia, makhluk berakal yang kerjanya tidak sekadar ngakali. Dan waspada, bahwa kita bertuhan dan kelak diganjar atas segala yang kita perbuat di dunia.
Uzlah di keramaian memang berat. Partai politik sebagai dalang yang dikuati undang-undang bukan aral yang ringan untuk ditekuk. Partai politik diberi kewenangan penuh untuk membuat lakon, dan siapa pun yang ingin melakoni itu wajib masuk ke dalamnya. Terlibat dalam haru-biru politik yang konotasinya suka-suka dan 'sak karepe dewe'. Dan maklum, karena vox populi telah tergadai kini.
Uang dan keterkenalan modal meraih kemenangan. Yang punya logistik itu punya kans untuk maju berlaga sebagai kandidat pemimpin negeri ini. Yang punya partai politik lebih berpeluang lagi, dan itu yang menjadikan rasa nestapa membayangkan apa yang bakal terjadi di negeri ini. Kandidat pemimpin negeri ini diragukan bibit, bebet dan bobotnya, bak Petruk jadi raja, mirip kere munggah bale, dan sama seperti cebol yang berhasil menggayuh bulan.
Kisah semacam ini sebenarnya belum pernah ada dalam dunia nyata. Itu hanya terekpresikan dalam lakon ludruk, sebuah pengadeganan yang satir dan penuh ambiguitas. Namun dari eksistensi partai politik dan politisi negeri ini terbayang, fiksi itu akan menjadi sebuah kenyataan. Nyata, negeri ini kelak akan dipimpin tokoh ludruk. Pemimpin yang tak layak menjadi pemimpin tetapi memimpin.
Terus jika pemimpin seperti itu yang kelak memimpin, seperti apa gambaran negeri ini ke depan? Yang jelas ger ger-an. Lucu dan kocak. Itu kalau rakyat menikmati 'kekacauan' dengan santai. Tapi jika tidak, maka akan terjadi situasi yang chaostis, dengan 'dalang-dalang menunggangi pemimpin', biduk gonjang-ganjing, dan beruntung jika negeri ini tetap tampil sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ramalan seperti itu setidaknya tergambar dalam lima prediksi Jangka Jayabaya yang belum tertafsir selama ini. Pulau Jawa digambarkan akan terpecah menjadi lima bagian, termasuk Pulau Madura, dengan hologram akibat perang dan bencana alam. Itu belum gambaran pulau lain yang menjadi bagian dari negeri ini, termasuk Papua dan Aceh yang rentan mengikuti jejak Timor Leste yang kini menjadi negara tetangga.
Agar itu tidak terjadi, maka pemimpin mendatang perlu jenius dan ahli strategi. Yang memimpin dengan hati, bijaksana dan bersih, serta punya nasionalisme tinggi. Tanpa itu, maka Indonesia akan kembali pada embrionya, sebagai kerajaan-kerajaan kecil (negara-negara kecil), yang renta terhadap infiltrasi dan transaksional dengan pihak asing. Adakah presiden ludruk mampu mengemban tugas berat itu? Daripada bingung mikir yang tak bisa dipikir, serahkan saja pada Gusti Allah.
Presiden ludruk memang belum ada dalam catatan sejarah. Tetapi negara ludruk (The Theatre State) pernah ditulis oleh Clifford Geertz yang menggambarkan 'patriotisme sempit' kerajaan-kerajaan Bali ketika berhadapan dengan Belanda. Mereka menantang untuk bareng berkalang tanah. Dan berkat itu maka banyak rasi yang kehilangan generasi di Bali.
Celakanya presiden ludruk ada kemungkinan besar bakal madeg sebagai pemimpin negeri ini. Mumpung itu belum nyata, maka rakyat harus mulai niteni dan nintingi. Mengingat-ingat track record partai politik dan calon presidennya, serta memilih secara jernih siapa mereka dan bagaimana jatid irinya. Jika tidak, pemimpin mendatang akan lebih slebor dari pemimpin sekarang yang 'teteh' saja dianggap ludrukan, apalagi yang benar-benar presiden ludruk.
Apakah benar tahun 2014 akan datang presiden ludruk? Jawabnya, bagaimana cara kita melawan dominasi 'partai sampah' yang semuanya memang berbendera umbul-umbul klaras?
*Djoko Suud, Budayawan
(nrl/nrl)