"Sebenarnya yang masih harus diperbaiki itu adalah persepsi masyarakat mengenai perbedaan mengenai mengkritik dan menghina. Harus lebih dijelaskan lagi, bagian mana yang bisa dianggap mengkritik dan dianggap menghina, sehingga pasal ini mungkin perlu diangkat lagi," ujar pakar hukum pidana Universitas Islam Yogyakarta (UII), Yogyakarta, Mudzakkir ketika berbincang dengan detikcom, Jumat (5/4/2013).
Mudzakkir mencontohkan, apabila ada kunjungan kenegaraan dan masyarakat melakukan perbuatan yang dianggap melecehkan presiden sementara UU yang mengatur tidak ada, maka reputasi kepala negara menjadi turun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut Mudzakkir mengingatkan agar publik tidak serta merta menganggap pemunculan kembali pasal ini sebagai hal yang bermuatan politis. Negara harus memberikan pemahaman terhadap rakyat untuk memberikan pemahaman bedanya kritik dan penghinaan. Sehingga pasal ini tidak serta merta dianggap menghilangkan kebebasan berpendapat seperti yang tertuang dalam pasal 28 UUD 1945.
"Karena di negara manapun juga, seorang Presiden pasti tidak boleh dihina," ujar akademisi yang juga tergabung dalam tim perumus RUU KUHP KUHAP.
Namun, pendapat di atas tidak selamanya diamini oleh seluruh akademisi. Sebab menurut pengamat hukum Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat, Feri Amsari dimunculkannya pasal penghinaan presiden tersebut melanggar konstitusi.
"Saya pikir pasal 265 RUU KUHP itu inkonstitusional dan melanggar konstitusi. Pasalnya putusan MK menurut UU MK itu kan final dan mengikat," ujar Feri saat dihubungi secara terpisah.
Sehingga apabila pemerintah dan DPR berusaha memunculkan kembali pasal kontroversial tersebut ke publik, berarti mereka menentang putusan MK yang dianggap final dan mengikat tersebut. Feri menambahkan, tidak sewajarnya pemerintah dan DPR mengabaikan putusan MK tersebut, karena pada saat mencabut pasal itu, MK telah memiliki pertimbangan yang kuat.
"MK sendiri sudah pasti punya alasan yang kuat dalam mencabut pasal tersebut dari KUHP. Apabila tetap di masukkan ke RUU, maka pemerintah dan DPR telah merusak semangat kebebasan berpendapat seperti yang tertuang dalam pasal 28 UUD 1945," tegas Feri.
(asp/asp)