"Ini bukan balas dendam biasa, ini balas dendam dalam waktu tiga hari. Patut diduga ada keterlibatan atau sepengetahuan atasan kesatuan di sana," kata Haris dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (4/4/2013) malam.
Berdasarkan hasil temuan investigasi KontraS di lapangan, beberapa hari setelah insiden penganiayaan dan berakibat tewasnya Serka Heru Santoso, ada pertemuan antara petinggi teritorial TNI dan pihak Polda DIY. Pemeriksaan terhadap empat tersangka pembunuhan pun, kata Haris, juga dihadiri oleh anggota TNI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Haris mengkritik pernyataan Brigjen Unggul yang menyebut oknum Kopassus yang terlibat dalam penyerangan sebagai ksatria karena mengakui perbuatan kejinya.
"Ini pembunuhan, tidak pantas disebut ksatria. Yang empat korban ini bukan kombatan perang, mereka tidak mengancam kedaulatan Republik Indonesia," tegas Haris.
Namun demikian, Haris mengapresiasi sikap TNI AD yang melakukan dengan cepat pengungkapan pelaku penyerangan LP Cebongan berdasarkan pengakuan para oknum. Pengungkapan sendiri merupakan langkah awal untuk menyelidiki lebih mendalam kasus tersebut.
"Kita apresiasi itu," ujarnya.
Sebelumnya, Brigjen Unggul menyatakan aksi brutal oknum personel di LP Cebongan sebagai tindakan di luar rencana anggotanya.
"Jadi itu tindakan reaktif dan tidak direncanakan," kata Brigjen TNI Unggul, di kantor Dispen TNI AD, Jl Abdul Rahman Saleh, Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2013).
Menurut Unggul, tindakan tersebut hanya reaksi spontan karena ada kedekatan pelaku dengan Serka Heru Santoso yang dibunuh oleh 4 preman tersebut secara sadis, tragis dan brutal.
"Itu memang tindakan reaktif secara spontanitas yang memang dilandasi jiwa korsa yang begitu besar," katanya.
Apalagi eksekutor berinisial U merasa utang budi kepada almarhum Serka Heru Santoso. "Apalagi mungkin dia merasa satu nasib sepenanggungan dan satu komando, mantan atasan langsung dan yang bersangkutan merasa berutang budi karena pada saat operasi pernah diselamatkan oleh almarham," tandasnya.
(ahy/ahy)