"Tetap pada awal PT TUN menyelesaikan sengketa tata usaha negara terkait urusan pemerintah. Jadi sengketa pemilu bukan kewenangan tata usaha negara," ujar ahli hukum administrasi negara Riawan Tjandra di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2013).
Menurut Riawan, salah satu karakteristik penyelesaian sengketa TUN melalui peradilan administrasi semu adalah ruang lingkup pengujiannya yang meliputi aspek kebijaksanaan dalam penetapan dan aspel legalitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai contoh, pada putusan PT TUN tentang sengketa PKPI dan KPU, majelis hakim justru terkesan memeberikan penilaian secara subjektif dan bukan pada tindakan hukum tergugat (KPU).
"Telah terjadi pergeseran penilaian majelis hakim tinggi TUN yang seharusnnya diarahkan pada objek sengketa TUN. Namun dalam pertimbangannya hukum putusan tersebut justru telah menilai kualitas dari subjek sengketa TUN (anggota KPU)," terangnya.
Tidak hanya itu, putusan PT TUN hanya mengandalkan penilaian dari Bawaslu atas sengketa KPU dan PKPI. "Harusnya mencari kebenaran materil. Maka karena hanya mengandalkan keputusan Bawaslu. Maka terjadi keleliruan berfikir," terangnya.
Berikut kutipan pertimbangan hakim yang dinilai terlalu subjektif pada putusan sidang PKPI dan KPU dalam salinan putusan PT TUN halam 133-134 nomor 25/G/2013/PT.TUN.JKT.
Menimbang bahwa KPU merupakan representatif dari sekian negarawan sehingga haruslah menunjukkan kenegarawanan, bertindak sesuai dengan orang bijak (wise) tidak justru mempertontonkan kepada khalayak ramai (publik) perbuatan melawan hukum.
Menimbang, bila orang-orang terpandang menjadi negarawan mempertontonkan di depan umum melakukan suatu pelanggaran hukum (inkonsistensi terhadap negara hukum, kepatuhan hukum, ketidakpastian hukum) bagaimana mungkin rakyat (masyarakat) bisa sadar hukum, justru sudah barang tentu rakyat atau masyarakat ikut-ikut mempertontonkan perbuatan yang melanggar hukum, sebab yang sepatutnya dapat dijadikan sebagai anutan tidak lagi dapat dipercaya sebagai anutan.
Menimbang, bahwa agar negara ini negara hukum yang sadar akan hukum atau tertib hukum, penyelanggara negara tidak terkecuali menunjukkan patuh perintah atas hukum dalam setiap langkah yang dilakukaan penyelenggara negara (negarawan) dilakukan secara elegan mematuhi perintah-perintah yang ditetapkan oleh hukum itu sendiri, jangan arogansi sektoral atau primordial sesat
(fiq/asp)