"Menyangkut tentang pengaturan bagaimana pilkada akan berlangsung lebih baik, kita memang harus cermati tentang apa yang baik dan buruk dari pilkada langsung dan perwakilan DPRD," kata ketua Panja RUU Pilkada, Abdul Hakam Naja, dalam diskusi 'Mencegah Pengaburan Uang Negara dalam Pilkada' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (2/4/2013).
Menurutnya, mekanisme pemilihan bupati dan wali kota secara langsung seperti saat ini memang membuat legitimasi kepala daerah menjadi kuat. Rakyat bisa menghukum kepala daerah yang tidak patut agar tidak diplih kembali. Tapi sisi negatifnya, korupsi anggaran yang besar jika diterapkan pemilihan langsung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada yang menjawab, saya dulu ikut dipilih DPRD dan langsung, ternyata lebih tinggi biayanya pemilihan oleh DPRD. Saya terkejut, artinya ini sangat situasional dan kondisional," lanjutnya.
Ia menuturkan, amanah Undang-undang hanyalah bagaimana melaksanakan pemilihan secara demokratis, tidak diatur secara redaksional apakah melalui DPRD atau langsung oleh rakyat.
"Kedua adalah soal proses keterpilihan, kalau pemilihan melalui DPRD calon yang diusung, ketahuan sebelum menang. Jangan sampai ada sandiwara pilkada, karena dari partai pengusungnya kelihatan kalau lebih 50 persen sudah di tangan menang. Karena anggota DPRD berani nggak lawan partainya," ucapnya.
Karenanya menurut Hakam, saat ini panja RUU Pilkada masih terus menggodok mekanisme pemilihan kepala daerah untuk menentukan mekanisme yang ideal dan tanpa hiruk pikuk.
"Targetnya masa sidang ini (RUU Pilkada) disahkan. Tapi kita lihat nanti," ucapnya.
(bal/trq)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini