"Apapun sanksinya harus diberikan secara tegas, jangan memberikan kompromi pada bentuk pelanggran, jangan berikan putusan abu-abu, supaya publik juga lebih percaya," kata Sekjen TII, Dadang Trisasongko.
Hal tersebut dia sampaikan dalam konperensi pers tokoh antikorupsi terkait kebocoran sprindik Anas Urbaningrum di Kantor YLBHI, Jl Diponegoro, Jakpus, Minggu (31/3/2013). Hadir juga dalam acara itu tokoh lain seperti Ahmad Suhaedi, Asep Iriawan, Bambang Widodo Umar, Ganjar Laksamana, Tamrin Tamagola dan Febri Diansyah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kok bisa dokumen itu ke mana-mana. Ini penting supaya tidak terulang lagi, harus lebih ketat mereka karena ini soal kredibilitas lembaga," tambahnya.
Febri Diansyah dari ICW menilai temuan komite etik harus dipatuhi semua pihak, termasuk bila ada pejabat di level pimpinan yang terlibat. Pelakunya harus ditindak dengan batasan kewenangan komite etik.
"Ini sebenarnya lebih kepada untuk menjaga orang yang mengambil keputusan strategis untuk bertindak sesuai dengan jalur etika profesinya, karena semua pelanggaran serius dimulai dari pelanggran etika," tambahnya.
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar mengatakan, bila ada temuan unsur pidana maka Polri harus dikawal ketat. Tak boleh ada aksi 'balas dendam' seiring dengan pengusutan kasus simulator SIM di KPK.
"Seandainya ada tindak pidana dalam kasus bocornya sprindik, kita akan mengawal dan tidak akan balas dendam. Kalau balas dendam malah akan makin membuat Kepolisian terpuruk," tegas Bambang.
Selain Bambang, Dosen Pidana UI, Ganjar Laksmana pun mengatakan, jika ada pelanggaran hukum dalam bocornya sprindik Komite Etik KPK tidak lagi berwenang memberikan sanksi. Karena sudah berada dalam ranah kepolisian.
"Jadi ada dua kemungkinan, jika masuk ranah korupsi, misal menghambat kalau itu mungkin diserahkan ke penegak hukum karena bukan kewenangan komite etik. Kalau bukan, itu dilimpahkan ke Kepolisian," ujarnya.
(mad/mad)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini