Di dalam pertemuan yang difasilitasi Pemerintah Kabupaten Sleman itu dihadiri muspika Depok, perwakilan mahasiswa Nusa Tenggara Timur,Timor Leste, Papua, Maluku dan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia Timur yang ada di Yogyakarta. Hadir dalam dialog itu pengasuh Ponpes Nurul Umahat, Kotagede, KH Abdul Muhaimin dan sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Dr Zuly Qodir.
Selama dua jam dialog berlangsung, beberapa perwakilan mahasiswa dan tokoh masyarakat mengungkapkan berbagai masalah yang terjadi akhir-akhir ini terutama di wilayah Tambakbayan-Babarsari, Desa Catur Tunggal, Depok Sleman yang paling banyak mahasiswa NTT bertempat tinggal. Jacky Latuperisa salah seorang tokoh masyarakat Maluku di Yogyakarta menungkapkan salah hal/prinsip yang harus dipegang sebagai orang yang datang ke Yogyakarta untuk belajar maupun bekerja adalah jangan sampai diusir karena tingkah laku yang kurang baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami juga sudah usul kepada Bapak Gubernur, Kapolda dan bupati agar di wilayah sekitar sini (Tambakbayan-Babarsari) dibuat atau didirikan polisi. Ini bisa mengurangi dan membuat mahasiswa semakin hati-hati," ungkap Jacky.
Stevanus mahasiswa asal Belu NTT mengatakan kedatangannya di Yogyakarta adalah untuk mencari ilmu. Kasus kekerasan yang terjadi beberapa waktu lalu hanya dilakukan oleh seorang oknum yang berasal dari NTT.
"Kami ingin merajut kebhinnekaan di sini. Kami juga tidak ingin ada gesekan-gesekan dengan warga Yogya," katanya.
Sementara itu KH Abdul Muhaimin menegaskan Yogykarta adalah empat untuk mengasah ilmu semua orang yang datang ke Yogyakarta. Karena itu semua mahasiswa di Yogyakarta harus bisa memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya.
"Seperti yang diungkap Gubernur DIY, kita di Yogya tidak perlu jadi orang Yogya tapi mengerti Yogyakarta dengan identitas masing-masing," pungkas dia.
(bgs/lh)