Pengamat hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, untuk mengesahkan pasal santet menjadi UU, para pembuat UU terlebih dahulu harus memberikan pendekatan sosial kepada masyarakat, karena hingga saat ini, santet masih menjadi sebuah fenomena sosial yang berbau klenik dan tidak semua orang dapat memahaminya.
"RUU itu dimulai dengan naskah akademis, nah permasalahannya adalah, apakah pembuat UU itu sudah melakukan pendekatan sosial terhadap pasal santet ini? kalau masyarakat masih bingung untuk membuktikan santet tersebut ya untuk apa dibuat RUU nya?," ujarnya ketika berbincang dengan detikcom, Rabu (27/3/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lebih tepat apabila DPR menggali kepahaman di masyarakat terlebih dahulu daripada buru-buru ke luar negeri. Lalu mengenai UU santet yang sampai mau direvisi sampai ke Eropa, itu kan kultur orang Indonesia, jadi mana paham orang Eropa itu?," tegas Feri.
Seperti diketahui, pasal 296 RUU KUHP menyatakan 'setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan dan memberitahukan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya itu dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang maka dapat dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 300 juta'. Jika ilmu gaib itu dikomersilkan ancaman pidana ditambah 1/3 dari 5 tahun.
(rni/fjp)