Perlu Perpu untuk Maksimalkan Pemberantasan Korupsi

Perlu Perpu untuk Maksimalkan Pemberantasan Korupsi

- detikNews
Rabu, 27 Mar 2013 14:04 WIB
ilustrasi (ari saputra/detikcom)
Jakarta - Pakar hukum pidana Prof Dr Andi Hamzah menganggap upaya dalam pemberantasan kasus suap di Indonesia belum maksimal. Andi menilai perlu dibuat Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) untuk menegaskan upaya pemberantasan korupsi.

"Kejaksaan dan kepolisian cenderung menggunakan pasal 5 UU Tipikor dengan ancaman maksimal 5 tahun, sedangkan KPK menggunakan pasal 12a dengan ancaman maksimal seumur hidup," kata Andi Hamzah.

Hal ini disampaikan dalam seminar Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) 'Gratifikasi dan Pertanggungjawaban Korporasi Pelaku Tindak Pidana Korupsi' di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta, Rabu (27/3/2013).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Andi mengatakan, Indonesia memang memiliki KPK yang bertugas memberantas kasus suap di Indonesia. Tapi dalam praktiknya KPK cenderung tidak konsisten, kepada pemberi suap KPK menerapkan pasal yang ringan, sedangkan penerimanya diganjar pasal berat.

"Semestinya dalam penegakan hukum ada konsistensi. Misalnya, kalau KPK menggunakan pasal 5 ayat 1 UU Tipikor untuk menjerat pemberi suap, pasangannya penerima suap harusnya dijerat pasal 5 ayat 2. Tapi ini jarang sekali terjadi," ucapnya.

Dia menyarankan, agar ketidakkonsitenan ini segera direvisi oleh pemerintah. Dalam hal ini, Andi mengatakan, presiden bisa membuat Perpu khusus untuk memperbaiki pasal suap dalam UU Tipikor.

"Sebagai informasi kekacauan UU Tipikor ini menjadi bahan disertasi di Belanda. Dan profesor hukum Belanda juga sudah tahu ada blunder dan foolish mistake dalam UU Tipikor yang dibuat DPR periode 1999-2004," tegas Andi.

Selain itu, penerapan pasal suap dalam UU Tipikor juga berpotensi menjadi ganjalan dalam pelaksaan pilpres dan pilkada. Sebab, dalam UU Tipikor memberi sumbangan kepada incumbent bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

"Setiap pemberi sumbangan pasti ada maunya. Itu dimaklumi dalam KUHP. Namun dalam UU Tipikor itu dianggap tindak pidana korupsi," jelasnya.

Menurutnya, kasus pengusaha Siti Hartati Murdaya bisa dijadikan contoh mengkriminalisasi pemberi sumbangan pilkada itu.

"Untuk kasus Hartati saya berpendapat perbuatan itu merupakan delik berdasarkan pasal 13 UU Tipikor. Tapi tidak melawan hukum karena diatur dalam UU Pemilu asal tidak melewati maksimum pemberian sumbangan," tegasnya.

Dia menjelaskan, apabila kondisinya melewati maksimum, maka dia dapat dituntut berdasarkan UU Pemilu.

"Sayang KPK tidak berwenang menuntut pelanggaran UU Pemilu. Berbeda dengan KPK-nya Malaysia yang berwenang juga menuntut pelanggaran UU Pemilu. Berarti orang Malaysia lebih tajam dalam mengantisipai keadaan ke depan," terangnya.

(rvk/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads