Akan tetapi karena tidak adanya penjelasan dari pakar hukum, masyarakat menjadi salah paham sehingga menimbulkan kontroversi.
"Bukan pasal santet, tapi pasal penipuan menggunakan santet. Masyarakat menjadi salah paham terhadap pasal ini adalah karena para ahli pidana kurang menjelaskan. Semula saya juga salah paham, tapi itu bukan pasal santet, tapi pasal menggunakan santet untuk menipu," jelas Jimly.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akan tetapi, bagaimana cara pemerintah memberikan penilaian terhadap iklan-iklan yang berbau klenik? Menurut Jimly, pembuktian terhadap pembuktian dalam penipuan memakai santet tersebut sangat mudah. Hanya dengan mengamati apakah 'sang dukun' terbukti menawarkan diri dan memberikan tarif kepada si klien, maka dukun tersebut dapat dikenai pasal penipuan memakai santet.
"Pembuktiannya mudah sekali, seperti beriklan dan pasang harga untuk melakukan hal-hal berbau klenik, itu kan mudah sekali pembuktiannya," jelas mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ini.
Walaupun Jimly menganggap UU ini akan menuai sejarah, dia beranggapan bahwa hal tersebut masih harus dipahami lagi karena masih dianggap sebagai rencana jangka panjang.
"Kalau nanti UU ini disahkan, ini akan menjadi sejarah, karena tidak dalam perencanaan saja tidak luput dari pengamatan publik. Akan tetapi RUU ini masih rencana jangka panjang dan hal ini juga masih harus diperdebatkan ulang," jelasnya.
Delik santet yang menuai kontroversi di masyarakat ini diatur dalam pasal 296 RUU KUHP yang mengancam orang yang 'mengiklankan diri' bisa dipidana paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 300 juta, apabila dirinya menyatakan memiliki kekuatan ghaib.
Saking seriusnya pemerintah mengatur hal-hal berbau klenik tersebut, komisi III DPR bahkan sampai melakukan kunjungan ke Inggris, Perancis, Belanda dan Rusia untuk melakukan pembahasan RUU KUHP dan KUHAP yang diantaranya juga memuat pasal santet.
(asp/asp)