"Agar Partai Demokrat selamat keluar dari krisis pasca mundurnya Anas Urbaningrum, KLB harus jadi pasar bebas calon pemimpin yang baru. Tidak tepat, adanya pemaksaan penyeragaman atas nama aklamasi," ujar pengamat politik dari Universitas Paramadina, Rico Marbun, kepada detikcom, Kamis (14/3/2013).
Menurut Rico, saat ini terlihat adanya dua arus besar menuju KLB, yakni yang menghendaki adanya aklamasi dan ada yang menghendaki pasar bebas pemilihan. Jika aklamasi dipaksakan, lanjut dia, bukan hanya tidak konstitusional, tapi juga akan menimbulkan krisis baru di tubuh partai berlambang bintang Mercy tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya, keputusan Majelis Tinggi misalnya untuk membatasi dan mengambil keputusan strategis tentang ketum partai yang tidak sesuai dengan AD/ ART sebelumnya adalah Inkonstitusional," tutur dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ini.
Menurut dia, arus aklamasi di KLB digerakkan oleh faksi internal Partai Demokrat yang tidak yakin dapat mengelola dinamika di KLB nanti. Padahal jika mekanisme pasar bebas yang digunakan, maka calon yang tidak sejalan dengan ketua majelis tinggi akan habis kesempatannya.
Meski demikian, Rico juga tidak memungkiri jika aklamasi masih berpeluang terjadi dalam KLB. Dengan catatan, mayoritas peserta KLB memang menghendaki pemilihan ketua umum PD secara aklamasi.
"Satu-satunya jalan memuluskan aklamasi ialah bila peserta kongres yang jumlahnya 2/3 dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah dan 1/2 dari jumlah DPC setuju. Bila tidak, praktis harus ada pemilihan," jelasnya.
"Celah yang dimiliki oleh kubu non-aklamasi ialah meyakinkan peserta kongres, bahwa mereka juga berhak mengajukan calon selain dari anjuran Majelis Tinggi," pungkas Rico.
(rmd/kff)