MK menghapus pasal yang tertuang dalam Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK bernomor 013-022/PUU-IV/2006 diketok pada 4 Desember 2006. Namun, pemerintah dalam Rancangan KUHP kembali mengajukan rumusan pasal tersebut.
"Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta," demikian bunyi Pasal 265 Rancangan KUHP seperti dikutip detikcom, Senin (11/3/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasal di atas ditegaskan lagi dalam Pasal 266 yang dikenakan bagi setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum.
"Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau paling banyak Rp 300 juta," bunyi ancaman Pasal 266 itu.
Dalam penjelasan Rancangan KUHP ini, yang dimaksud menghina adalah perbuatan apa pun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah dan menghina dengan tujuan memfitnah.
"Penghinaan terhadap orang biasanya merupakan tindak pidana aduan. Akan tetapi penghinaan terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden tidak perlu ada pengaduan," jelas Rancangan dalam halaman 270 itu.
Pasal ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik atau pun pendapat yang berbeda dengan yang dianut Presiden atau Wakil Presiden.
"Penghinaan pada hakekatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela karena menyerang dan merendahkan martabat kemanusiaan. Oleh karena itu secara teoritik dianggap sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mal perse dan oleh karena itu dilarang di berbagai negara," beber penjelasan itu.
Seperti diketahui, pasal penghinaan presiden ini telah dihapus MK dengan pemohon Eggi Sudjana. Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir.
"Apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi, yang dijamin Pasal 28F UUD 1945," demikian bunyi putusan MK itu.
KUHP yang berlaku saat ini dibentuk pada 1830 oleh pemerintah Belanda dan dibawa ke Indonesia pada 1872. Pemerintah kolonial memberlakukan secara nasional pada 1918.
(asp/nrl)