Majelis Hakim Diundi, RUU KUHAP Versi Pemerintah Timbulkan 'Kekacauan'

Majelis Hakim Diundi, RUU KUHAP Versi Pemerintah Timbulkan 'Kekacauan'

- detikNews
Senin, 11 Mar 2013 08:53 WIB
Lilik Mulyadi (ist.)
Jakarta - Rancangan KUHAP yang telah digodok pemerintah bertahun-tahun ternyata menyimpan banyak polemik. Kini, Rancangan KUHAP yang berisi 286 pasal tersebut berpindah tangan ke DPR.

Salah satu polemik yang muncul contohnya pada pasal 142 ayat 1 yang berbunyi 'Dalam hal Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk majelis hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut secara acak'. Kemudian penjelasan pasal tersebut menentukan 'Yang dimaksud dengan 'secara acak' adalah berdasarkan urutan masuknya perkara ke pengadilan dan nama hakim yang akan mengadili perkara tersebut diundi'.

"Mungkin ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan dalam tataran teoritis, dan relatif sulit diterapkan dalam tataran praktik peradilan," kata Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara (Waka PN Jakut), Lilik Mulyadi kepada detikcom, Senin (11/3/2013).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut hakim yang memberikan vonis mati kepada Amrozi cs ini, pada setiap PN, pasti terdapat majelis hakim yang ditetapkan secara permanen,lazimnya ditentukan secara 6 bulan. Kemudian secara periodik diadakan perubahan majelis hakim.

Kemudian, pada PN terhadap perkara yang masuk (pidana) rata-rata dalam seminggu untuk Pengadilan Negeri Kelas II kurang lebih sebanyak 25 perkara sedangkan untuk Pengadilan Negeri Kelas IA rata-rata sejumlah 75 perkara.

"Apabila dilakukan penunjukan majelis hakim secara acak dan hakim yang ditunjuk diundi maka ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Pertama, karena namanya 'undian' maka ada kemungkinan penerimaan jumlah perkara yang diterima antara hakim satu dengan hakim lain tidaklah sama, dan bahkan dapat saja terjadi hakim yang satu terlalu banyak mendapatkan perkara sedangkan hakim yang lain tidak tertutup kemungkinan tidak mendapat perkara sama sekali," tegas hakim pemegang gelar doktor ini.

Kedua, lanjut Lilik, pembagian suatu perkara berdasarkan sistem acak dengan melalui undian maka meniadakan adanya spesifikasi suatu kasus satu dengan kasus lainnya dan kemampuan antar hakim. Karakteristik suatu kasus memang memerlukan suatu penanganan berbeda dengan kasus yang lain sehingga memerlukan polarisasi dari kemampuan hakim yang berbeda pula.

"Suatu kasus tertentu cocok dengan hakim A akan tetapi relatif sulit dengan kemampuan hakim B oleh karena kemampuan hakim di Indonesia relatif tidak seragam. Ketiga, dalam praktiknya akan menimbulkan kesulitan dan 'kekacauan' dalam hal dilakukan persidangan," sambung hakim yang gemar membuat puisi ini.

Lilik menncontohkan suatu kasus A harus dilakukan dengan majelis hakim B, C, D kemudian suatu kasus B diadili dengan majelis hakim C, F, G serta kasus C harus diadili oleh majelis hakim C, F dan H. Dari deskripsi di atas tentu dapat dibayangkan bagaimana semrawutnya proses persidangan berupa ruang sidang, gonta ganti majelis hakim dan lain sebagainya apabila kasus yang disidangkan misalnya berjumlah rata-rata 50 kasus perharinya.

"Oleh karena dengan sistem yang demikian sesuai polarisasi pembentuk RUU KUHAP sistem sistem acak tersebut kiranya kemungkinan hanya dapat dilakukan terhadap satu atau dua kasus tertentu saja, dan juga harus didukung oleh kemampuan hakim yang relatif sama," cetus hakim yang memaasukkan puisi dalam putusan Amrozi tersebut.


(asp/mpr)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads