Penyebabnya adalah perbedaan bahasa antara kedua negara. Presiden SBY menjelaskan hasil pertemuan kedua kepala negara dengan bahasa Inggris. Sementara Presiden Ader menjelaskan dengan bahasa Hungaria yakni bahasa Magyar. Untuk menghindari kendala bahasa, maka ada dua orang perwakilan dari Indonesia dan Hungaria menjadi penerjemah bagi para hadirin yang mengikuti jumpa pers bersama tersebut.
Lima menit pertama jumpa pers terasa kurang nyaman bagi peserta yang hadir terutama para juru warta. Sebab, proses penerjemahan dilakukan secara manual tanpa alat intrepreter atau sebuah alat seperti headphone yang bisa memisahkan atau menyaring dua bahasa saat alat tersebut digunakan. Alat intrepreter ini biasa digunakan dalam setiap jumpa pers antara dua kepala negara yang memberikan pernyataan dengan bahasa negaranya masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena tidak menggunakan alat intrepeter yang mampu memisahkan kedua bahasa, Presiden Ader dan penerjemah asal Indonesia terdengar saling bersahutan. Keduanya bersama-sama berbicara dengan microphone dengan suara yang sama besar sehingga mengaburkan masing-masing pesan yang disampaikan. Hal ini terus berlangsung hingga kalimat kedua dan ketiga atau sekitar lima menit pada pernyataan Presiden Ader awal berbicara.
Karena terdengar tidak nyaman, salah seorang staf dari Istana Sandor kemudian memberikan satu microphone kepada penerjemah asal Hungaria. Sehingga dua penerjemah tersebut menggunakan dua microphone yang berbeda.
Kemudian, lima menit berikutnya jumpa pers berlangsung cukup nyaman. Usai Presiden Ader bicara, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Presiden Ader mengerti kapan harus berbicara saat penerjemah asal Indonesia selesai menerjemahkan. Sehingga tidak ada lagi saling 'tabrak' bahasa dalam jumpa pers tersebut.
Sementara Presiden SBY dengan lancar menggunakan bahasa Inggris menyampaikan hasil kesepakatan kerjasama kedua negara. Indonesia dan Hungaria sepakat untuk meningkatkan kerjasama di berbagai bidang diantaranya pengelolaan air, pariwisata, kebudayaan, ketahanan pangan, energi, investasi dan perdagangan.
Melihat kondisi 'kekakuan' tersebut, Staf Khusus Presiden Bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan hal itu adalah hal biasa. Indonesia cukup mengerti dengan kondisi setiap negara yang tidak menyiapkan alat intrepreter.
"Memang berbeda dengan di Indonesia, kita melengkapi dengan sarana translator. (Disini) kita menyesuaikan dengan kondisi negara setempat, kita sebagai tamu menyesuaikan dengan fasilitas yang ada. Kita berikan bantuan terjemahan sehingga bisa memaklumi pokok-pokok pembahasan," ujar Faizasyah usai jumpa pers tersebut.
Menurut Faizasyah, diakui memang masih banyak di generasi-generasi sebelumnya yang menggunakan bahasa asli Hungaria. Namun kalangan diplomat muda Hungaria juga banyak yang lancar menggunakan bahasa Inggris.
"Kalau kita lihat banyak juga orang Hungary banyak menggunakan bahasa Inggris. Saya bertemu diplomat muda mereka banyak yang bisa berbahasa Inggris. Memang generasi sebelumnya terbiasa dengan bahasa Ibu, ya minimal bahasa Jerman. Jadi saya kira tidak ada kendala," paparnya.
Jadi kedepan, kerjasama Indonesia dan Hungaria tidak akan ada masalah dalam bahasa ?
"Kerjasama bilateral itu kita akan berikan dokumen dalam dua bahasa, bahasa Inggris dan bahasa negara tersebut. Jadi tertutup peluang adanya sengketa dalam berbahasa," tutupnya.
(mpr/mpr)