Kewajiban pembacaan Konklusi oleh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Jaksa Agung diatur dalam pasal 234 dan 254 untuk kasus korupsi, pelanggaran HAM, terorisme, pencucian uang dan kejahatan terhadap keamanan negara.
"Pertama, belum ada penjelasan yang memadai baik dalam bagian Penjelasan RUU maupun Naskah Akademik RUU Hukum Acara Pidana ini mengenai apa yang dimaksud dengan konklusi tersebut," kata Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, kepada detikcom, (9/3/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Walaupun pembacaan hanya akan dilakukan untuk jenis perkara tertentu saja namun ternyata jenis perkara tertentu tersebut khususnya di tingkat kasasi dalam 3 tahun terakhir jumlahnya sebanyak 900-1000 buah perkara. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit tentunya," tandas Arsil.
Dari paparan pasal-pasal sebelumnya, Konklusi ini seakan-akan mengadopsi konsep Belanda. Akan tetapi, jika benar konsep tersebut diserap dari Belanda, maka pengadopsian tersebut sepertinya dilakukan tanpa kajian yang cukup mendalam. Sebab sistem dan struktur kekuasaan kehakiman di Belanda yang memiliki cukup banyak perbedaan dengan sistem dan struktur hukum dan peradilan di Indonesia.
"Saya sarankan agar dalam pembahasan di DPR nantinya kedua pasal ini harus dibahas secara serius, dikaji kembali apa tujuan dari kedua ketentuan ini, serta apakah kedua ketentuan ini dapat diterapkan secara efktif," cetus alumnus FH UI angkatan 1996 ini.
Konklusi adalah nota tertulis jaksa yang berisi alasan kasasi. Nota ini dibacakan secara lisan kepada pejabat MA. Tidak dijelaskan detail teknis pengajuan Konlusi ini.
(asp/mok)