Kini para wanita korban kekerasan dan pelecehan seksual di Mesir berani mengungkapkan kasus yang mereka alami. Mereka yang tergabung dalam organisasi Operation Anti Sexual Harassment and Tahrir Bodyguard menyatakan, mereka akan terus memperjuangkan haknya dan mengimbau kaum wanita lainnya untuk berani melawan 'terorisme seksual'.
"Kami bukanlah korban, kami adalah para revolusioner. Apa yang terjadi kepada kami membuat kami lebih kuat dan kami akan terus melanjutkannya (turun ke jalanan)," ujar salah seorang aktivis wanita, Aida al-Kashef, seperti dilansir AFP, Kamis (7/3/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Parahnya, sejak revolusi rakyat yang melengserkan Presiden Hosni Mubarak, kasus semacam ini semakin parah. Tidak hanya dilecehkan, kaum wanita bahkan diserang oleh gerombolan pria yang berunjuk rasa di sejumlah wilayah Mesir, salah satunya di Lapangan Tahrir, Kairo.
Bahkan para penyerang nekat menelanjangi korban dengan menggunakan pisau untuk merobek pakaian kemudian mencabulinya di jalanan. Salah satu korban, Yasmine al-Baramawy menceritakan insiden yang dialaminya pada November 2012 lalu.
"Mereka mengepung saya dan mulai menelanjangi saya dengan pisau," tutur Baramawy yang berani membeberkan pengalaman pahitnya kepada publik.
Menurut Baramawy, dirinya kemudian diseret beratus-ratus meter sebelum akhirnya diraba dan dicabuli. Baramawy mengaku dirinya diselamatkan oleh warga setempat yang memergoki aksi bejat tersebut.
"Saya tidak merasa sedih atau merasa martabat saya telah direndahkan. Saya merasa marah, dan saya ingin keadilan," tegasnya.
Organisasi ini mengajak para korban kekerasan seks untuk berperan aktif dan melawan aksi serupa yang masih marak terjadi. Dengan melakukan aksi unjuk rasa di jalanan, mereka berusaha menghentikan aksi kekerasan seksual yang terjadi di Lapangan Tahrir dan sekitarnya, tanpa adanya pengawasan polisi sama sekali.
Organisasi ini juga menyediakan dukungan medis dan psikologis bagi para korban. Dalam unjuk rasa yang diikuti ribuan warga Mesir di Lapangan Tahrir pada 25 Januari lalu, Operation Anti Sexual Harassment mencatat sedikitnya 19 wanita menjadi korban kekerasan seksual.
"Serangan semacam ini bertujuan untuk mengucilkan wanita dari kehidupan publik dan seolah menghukum mereka karena berpartisipasi dalam aktivitas politik maupun unjuk rasa. Mereka juga berusaha menghancurkan citra Lapangan Tahrir dan unjuk rasa secara umum. Fenomena semacam ini memerlukan perhatian dan perlakuan khusus, dan ini berkaitan dengan masalah sosial yang lebih luas dan pelecehan seks terhadap wania yang terjadi setiap harinya," demikian pernyataan organisasi tersebut.
"Kami tidak ingin menggunakan istilah 'pelecehan'. Apa yang terjadi sekarang ini adalah terorisme seksual," tandas seorang aktivis wanita setempat, Inas Mekkawy.
(nvc/ita)