Sebut saja Retno Uswatun Khasanah, atau biasa disapai ukhti Retno, yang memimpin Holaqoh di Masjid Ammar di kawasan Wanchai, Hong Kong. Baginya, menjadi kebanggaan dapat dipercaya memimpin kelompok kajian Islam untuk para buruh migran Indonesia, selain memberikan ilmu, tentu membawa sisi positif para kaum buruh migran selama tinggal di perantauan.
Aktivitas kelompok kajian yang ada di lantai 3 gedung ini digelar dari seminggu penuh, dari mulai Senin sampai dengan Minggu. "Maklum, setiap butuh migran tidak sama mengambil libur mingguannya," kata Retno saat berbincang dengan detikcom awal pekan ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di gedung berlantai 6 ini terdapat beberapa fasilitas yang dapat digunakan oleh umat muslim, bukan hanya untuk kaum buruh migran, tapi juga warga Hong Kong yang menganut Islam. Fasilitas tersebut adalah masjid yang berada di lantai dasar, ruang kajian Islam yang ada di lantai 2 dan 3, kantin dengan makanan berlabel halal, dan juga catatan menikah bagi mereka yang beragama Islam, khususnya mereka yang menjadi buruh migran Indonesia.
Kantung kajian Islam lainnya yang ada di Hong Kong dan diikuti buruh migran adalah di Kowloon Park. Anggota kajian menamai kelompoknya dengan sebutan jamaah TST (Tsim Sha Tsui). Tsim Sha Tsui sendiri adalah nama sebuah masjid megah yang ada di tengah-tengah Hong Kong dan dikelola oleh muslim Pakistan.
Sayangnya, detikcom tidak dapat menggali informasi lebih terkait dengan aktivitas mereka, karena saat itu jamaah yang mayoritas kaum Hawa ini tengah khusyuk mengikuti ceramah dari seorang ustad yang juga berkebangsaan Indonesia.
Berbeda dengan kelompok kajian Islam di Kowloon Park dan Wanchai, Khasen (28) membuat klub merajut di setiap akhir pekan bersama beberapa rekannya di Victoria Park. Kreasi yang diciptakan bermacam-macam, mulai dari syal sampai dengan tas rajut.
"Dijualnya ke siapa saja yang suka, seharga HK$ 250 sampai HK$ 350 paling mahal," ujarnya.
Saat detikcom mengunjungi kegiatan Khasen, ada 5 rekannya yang juga tengan membuat rajutan. Dia menuturkan, awal mula dia menekuni rajutan ketika dirasa banyak waktu yang terbuang. Selama bekerja dengan majikannya, dia hanya mengurus anak majikannya mengantar atau menjemput dari sekolah.
"Awalnya belajar dari youtube, tapi ke sini-sininya saya improvisasi saja," kata perempuan asal Cilacap ini.
Uang hasil penjualan rajutan dikumpulkannya, sebagian untuk ditabung, sebagian lagi untuk membeli benang rajut atau materi kebutuhan rajutan. Khasen tidak pernah memaksa rekan-rekannya untuk mengikuti keterampilan tangan yang dia geluti.
"Kalau mereka suka ya monggo bergabung, kalau mau beli jadi saja tidak apa-apa," selorohnya.
Kelompok pengajian dan keterampilan buruh migran Indonesia adalah sedikit gambaran bagaimana mereka bertahan hidup jauh dari kampung halaman. Tidak sekadar menjadi pekerja di negeri orang, tapi juga memanfaatkan peluang waktu yang ada untuk menjadi lebih dari seorang buruh migran Indonesia, dan pulang ke kampung halaman dengan harapan dan semangat baru menata hidup lebih baik.
(ahy/ndr)