"Korupsi politik itu istilah baru dan di pidana Tipikor tampaknya belum ada undang-undangnya. Hal ini bisa dilihat dari hampir kita tidak punya data detail penyumbang parpol atau caleg. Kita juga belum menemukan korupsi politik yang ditangani KPK," kata Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) Indonesia, Ubedilah Badrun.
Ubedilah mengatakan hal itu dalam acara diskusi 'Bersama Mengawal Pemilu 2014: Anak Muda Membendung Korupsi Politik 2013' di Universitas Negeri Jakarta, Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa (26/2/2013).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada praktik lain, ketika kandidat suaranya ditingkat kecamatan bergeser suaranya dan di situ ada transaksi, itu setelah ditawari. Praktik yang korup ini juga karena biaya besar pemilu. Ada data yang diduga DKI kemarin hampir Rp 500 miliar," ujar Ubedilah tampak yakin.
Menurut dosen sosiologi politik dari UNJ ini, praktik tersebut menciptakan oligarki politik karena besarnya ongkos pesta politik. Dugaan pun muncul dari dirinya bahwa ada penggunaan APBN atau APBD dalam pemilu.
"Praktiknya menjadi oligarki politik, dengan ongkos besar, salah satu sumbernya adalah APBN dan APBD. Dulu kita hanya menduga, tapi setelah kasus Nazarudin semua terbuka. Ini polanya hampir di semua parpol terjadi, kecuali partai-partai yang menahan diri," ujar Ubedilah.
Ubedilah mendalami pernyataannya melalui dugaan adanya 'jatah' DPRD dalam APBD melalui yayasan-yayasan yang berada di bawah sebuah partai politik. Ia menduga munculnya hal ini karena lemahnya sanksi hukuman dari penangkapan KPK pada seorang koruptor.
"Saya lihat ini karena hukumannya tidak optimal. Dari konteks itu, saya setuju hukuman mati untuk para koruptor, saya setuju dengan rentang berapa angka yang dikorupsi. Konsep hukum mati ada di Indonesia untuk kasus narkoba, pembunuhan berencana, dan mutilasi. Korupsi yang triliunan dan merugikan sekian generasi juga harus dihukum mati," tutup Ubedilah.
(vid/mok)