Menurut Dr Andri Sk Kj yang juga Dosen Psikiatri Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) pembunuhan sadis dengan latar belakang dendam pelaku yang merasa sering diolok-olok orangtua korban, tidak serta merta bila pelaku mengalami gangguan kejiwaan.
"Jika berbicara gangguan jiwa kita harus mengerti dulu masalah yang berhubungan dengan kasus seperti yang dialami balita di atas. Adanya niat dari pelaku yang jelas dan perilaku ingin menyembunyikan perbuatannya dari orang lain sebenarnya bisa menjadi pertanda bahwa perbuatan ini dilakukan dengan kesadaran walaupun mungkin dipengaruhi oleh situasi yang mendukung," jelas Andri dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Rabu (20/2/2013) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi secara umum perbuatan ini masih bisa dipertanggungjawabkan oleh si pelaku dalam kapasitasnya sebagai individu yang bisa dikenai jerat hukuman," paparnya.
Lebih lanjut Andri menjelaskan, tindakan kriminal umumnya dilakukan oleh mereka yang mengalami gangguan kepribadian dan antisosial atau lebih dikenal dengan istilah psikopatik. Namun, tidak semua orang yang terjerat hukum adalah orang yang mengalami gangguan kepribadian antisosial.
"Pemeriksaan lebih lanjut kepada pelaku tentang mengapa korban sampai disemen akan menentukan alasan perbuatan yang dianggap oleh kita sebagai sesuatu yang di luar kewajaran," terang Anggota American Psychosomatic Society ini.
Bila dari alasan yang disampaikan pelaku adalah untuk menutupi jejak pembunuhan, maka langkah pelaku menjadi hal yang umum dilakukan para pelaku pembunuhan. Pelaku, ujar Andri, bisa saja terpengaruh film asing yang pernah diputar di televisi tentang modusnya tersebut.
"Hal ini berarti tidak ada masalah gangguan penilaian realita dalam diri pelaku," jelasnya.
Lain hal bila alasan pelaku melakukan tindakan tersebut karena gangguan realita sehingga mendorong pelaku berbuat keji. Dia mencontohkan adanya suara halusinasi yang menghinggapi pelaku sehingga bertindak di luar batas kewajaran.
"Tentunya jika pun mengalami gangguan kejiwaan, diagnosis yang pasti harus dilakukan oleh seorang psikiater forensik," kata Andri.
"Jadi, sebenarnya jangan buru-buru mengaitkan bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku sebagai masalah gangguan kejiwaan. Pemeriksaan yang lengkap dan benar tentang niat dan alasan di belakang perbuatannya bisa menjadi dasar untuk memproses perbuatan ini lebih lanjut tanpa perlu repot-repot mengaitkannya dengan gangguan kejiwaan," imbuhnya.
Sebelumnya, Fahri ditemukan tewas dengan tubuh di semen hingga menyerupai sebuah patung di sebuah gang berukuran 60 cm di Jalan Endrosono VII/19F. Bocah itu adalah Fahri Khusaeni Romadhon, anak pasangan Misnawi dan Zubaidah.
Fahri diketahui hilang pada Sabtu (16/3/2013) dan sudah dilaporkan ke Polsek semampir. Setelah dilakukan pencarian, Fahri ditemukan sudah tak bernyawa dengan keadaan cukup mengenaskan. Seluruh tubuhnya mulai mengeras karena diguyur adonan semen. Solikin, tetangga korban yang diduga membunuh sang bocah, di hadapan polisi mengatakan bila dia nekat menyemen Fahri karena mulai tercium bau busuk dari jasad korban.
(ahy/ahy)