Ya, Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat yang berakhir pekan lalu happy ending. Geger yang diindikasikan akan terjadi dalam Rapim ini tidak terjadi. Tiga faksi ternyata bisa duduk mesra. Shock-teraphy pengambil-alihan garis komando partai ini yang dilakukan SBY berhasil dinetralisasi.
Jika SBY dalang, dalam Rapimnas ini dia sebenar-benar dalang. Tahu lakon yang dimainkan, dampak lakon, goro-goro, dan menyudahi lakon dengan manis. Yang tersisa kini tinggal perasaan penonton. Mereka bertanya-tanya tentang makna lakon, dan merenungkan alasan sang dalang melakonkan itu. Apakah ini pengejawantahan strategi Sun Tsu, politik Trisula Samkok, atau chaos demi harmoni jagat?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedang strategi Samkok lebih gila lagi. Merancang jurus menempatkan kawan, lawan dan oportunis dalam bingkai 'kawan'. Ini langkah jitu. Skak mat dalam permainan catur. Kalah pun menang, apalagi menang. Jika dikaitkan dengan zaman sekarang, jurus ini merupakan pola kematangan jaringan dan fanatisme. Selalu menang dalam kondisi apapun.
Jurus-jurus itu memang jurus pamungkas. Menyudahi yang tidak diinginkan agar sesuai dengan keinginan perancangnya. Kendati banyak yang menyebut strategi ini sebagai strategi pengecut, tetapi yang mampu melakukan itu taklah layak disebut pengecut. Apalagi di ranah politik, yang kata Machiavelli, murni soal kekuasaan, bukan yang lain. Terus di mana posisi Sengkuni yang disebut Anas Urbaningrum?
Sengkuni diidentifikasi sebagai sosok penghasut. Dalam pewayangan, figur ini ditampilkan sebagai tokoh protagonis dari kalangan ksatria. Dia dianggap pangkal terlunta-luntanya Pandawa. Sengkuni dicap sebagai provokator yang culas demi ambisi dan dendam pribadi. Di Partai Demokrat, terdapat lima sosok yang disebut-sebut sebagai Sengkuni. Inisial mereka adalah A, E, J, M, dan S.
Mimikri peran Sengkuni sebenarnya tidak sendiri. Ada Pendeta Durna dalam strata tertinggi, dan Togog di kasta terendah. Durna tercatat sebagai guru keluarga Bharata (Pandawa dan Kurawa). Pengajar Arjuna memanah. Sedang Togog sebagai batur, embat-embate pitutur (konsultan informal) Kurawa.
Ketiga tokoh provokator itu selalu menyampaikan informasi kebohongan pada Pandawa. Sengkuni atau Pendeta Durna memprovokasi, di kalangan rakyat jelata tampil Togog yang bertugas mengamini. Tiap episode perang sering karenanya, memasukkan Pandawa dalam kesulitan, kendati endingnya lima saudara itu memenanginya.
Tetapi filosofi cerita ini bukan untuk kebaikan atau keburukan. Ini merupakan jalan menuju harmoni. Dunia tidak aman linier, tetapi aman yang 'dinamis'. Menstimulasi perang keluarga Bharata cepat berkobar, agar baik dan buruk menemukan titik nadzir sebelum bersemi lagi.
Di kancah politik, sosok Sengkuni, Durna, dan Togog merupakan keniscayaan. Mereka pasti ada di kekuasaan, pemerintahan, komunitas, dan tentu, partai politik. Dalam keseharian, mereka adalah manusia 'yes man', yang selalu bilang 'ya' untuk sang majikan. Tujuannya asal bapak senang (ABS).
Peran mereka dominan jika 'sang bapak' (pemimpin) tidak punya inisiatif. Ide kreatif, jeli, dan bijaksana. Namun mereka tidak berperan manakala sang pemimpin punya itu. Rasional, jernih sesuai hati nurani, dan jelas visi dalam membawa biduk partainya.
Dalam persoalan ini, tiga pilar yang ditekankan SBY bagi kader Partai Demokrat sangat bagus. Dalam bahasa Edhie Baskoro Yudhoyono, βjangan lupakan tiga poin penting yang harus kita pegang dan teguhkan bersama. Demokrat seluruh Indonesia harus saling menjaga kebersamaan, meningkatkan soliditas dan menjalin sinergitas.β
Sikap ini harusnya sudah jauh-jauh hari dilakukan. Prospek Partai Demokrat masih tinggi. Hanya karena antar-kader selalu melecehkan kader yang lain, maka partai ini elektabilitasnya terus melorot. Partai Demokrat harus belajar pada Partai Golkar. Kader beringin banyak bermasalah tetapi elektabilitasnya tetap moncer. Itu karena Partai Golkar tidak berkelahi di luar, tapi di dalam.
Menurut saya, dijamin kehormatan Partai Demokrat naik jika Sengkuni, Durna, dan Togog tidak bicara pating pecothot lagi. Sebab memang itu yang menjadi pangkal partai ini kehilangan peluang untuk mengembalikan harga dirinya. Mampukah kader Partai Demokrat melakukan itu?
* Djoko Suud, budayawan di Jakarta
(nrl/nrl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini