Dalam satu setengah dasawarsa terakhir, telah terjadi perubahan paradigma politik di tanah air. Pemahaman terhadap realitas politik telah membuat jurus-jurus politik yang dikeluarkan partai peserta pemilu bermetamorphosis dari waktu ke waktu. Semua itu, setidaknya sampai hari ini, tercermin dari para calon gubenur Jabar yang akan bertarung pada 24 Pebruari 2013 mendatang.
Gegap gempita para politisi murni pemegang kendali partai--di jaman Orde Baru--yang ingin menduduki jabatan publik sudah mulai sedikit surut. Dengan pemilu langsung, banyak politisi memudar kharismanya di hadapan pemilih. Dalam realitas yang ada, seringkali ditemui, masyarakat bingung harus memilih calon yang mana. Di mata mereka, hanya segelintir yang dikenal dan di antara yang sedikit itupun mungkin tidak diketahui siapa yang sudah dan akan mampu membawa aspirasi mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itulah yang membuat gap antara rakyat dengan kalangan politisi semakin menganga. Menyebabkan tingkat golput makin berkibar dari waktu ke waktu. Pada saat yang sama, sesuai hukum alam, kevakuman itu diisi oleh pihak-pihak lain yang merasa mampu melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik, walaupun harus loncat dari satu profesi ke profesi lainnya. Aktor, aktris, selebritas dan bintang ikut mengincar kursi kekuasaan walaupun tanpa keahlian yang memadai.
Demikian juga yang terjadi di partai politik. Terjadi simbiosi mutualisme. Menyadari lemahnya daya tarik politisi yang relatif masih hijau, maka untuk mencuri perhatian masyarakat mereka pasang orang-orang yang sudah terkenal meski dari profesi yang berbeda. Jumlah kursi yang lebih banyak di parlemen, jelas jauh lebih baik, walaupun tidak semua diisi politisi. Gabungan calon bupati yang terdiri dari politisi dan selebriti mislanya, merupakan pilihan yang terbaik di tengah-tengah makin cueknya masyarakat akan sepak terjang politisi murni.
Dalam pengalaman pemilukada, ramuan es campur itu membawa hasil yang cukup menggembirakan. Di banyak tempat, kini bertaburan wakil gubernur yang terdiri dari para bintang atau selebritas. Mereka relatif mudah memenangkan pertarungan dibanding harus mengawinkan, misalnya, dua politisi yang kawakan. Ketenaran para bintang yang sering muncul di layar teve dan berbagai iklan menyebabkan masyarakat yang umumnya belum melek politik dan sudah apatis terhadap politisi murni, cenderung menjatuhkan pilihan pada calon bintang yang mereka kenal.
Pemilukada di Jabar dan Banten sebelumnya, memberi bukti riil hebatnya ramuan campuran ini. Partai politik yang gemar memasang caleg dari selebritas membuktikan bahwa hampir semua dari mereka terpilih. So? Jadi kalau demikian, secara pragmatis, kenapa hal ini tidak dilanjutkan?
Dan bukan merupakan sebuah kebetulan. Akhirnya "perang bintang" kini telah mulai menyeruak di angkasa Jawa Barat. Dari lima pasangan calon gubernur yang ada, tiga di antaranya boleh dibilang diisi oleh para bintang. Mereka akan ikut meramaikan perhelatan perebutan kursi kekuasaan dan diharapkan menjadi magnet kuat dalam meraup suara. Pertarungan di Jabar ini pastilah sangat seru dan menjadi preseden bagi dunia politik tanah air.
Sangat saya yakini bahwa pertarungan di bumi Sunda ini sebenarnya pertarungan para bintang, dan relatif bukan pertarungan para politisi. Dengan jumlah penduduk yang sangat banyak dan pendidikan yang beragam, membangun popularitas dalam waktu sekejap bukan soal remeh. Di tangan para bintang inilah, partai politik menaruh banyak harapan untuk bisa memenangkan pertarungan.
Jadi, bukan tidak mungkin, Jawa Barat sebentar lagi akan dipimpin oleh bintang. Pemenang dari pemilukada ini dengan demikian akan sangat tergantung pada seberapa cemerlang bintang itu. Semakin moncer dan dikenal di masyarakat, maka kans memenangkan pemilukada akan semakin mudah. Faktor penting lain adalah persepsi masyarakat terhadap bintang incumbent. Kalau persepsinya positif maka pertarungan akan semakin sengit. Tapi, kalau kurang bagus, maka persaingan hanya mengerucut pada bintang yang bukan incumbent.
Dan jangan lupa, kalau saja pemilukada Jabar ini sukses menghantarkan seorang bintang duduk lagi di kursi puncak kekuasaan, tren ini akan menular di banyak tempat di tanah air. Pemilukada dimanapun, akan banyak dihiasi oleh bintang-bintang gemerlap. Bintang yang masih hijau terhadap dunia politik, diharapkan dapat belajar cepat untuk adaptasi dengan pekerjaan barunya yang notabene sangat jauh berbeda dengan ranah seni. Sepertinya, beberapa partai politik tidak perduli atas pengetahuan poliik sang bintang. Yang dipentingkan, bagaimana dapat menyabet kursi kekuasaan.
Keberhasilan pemilukada Jabar juga akan mempengaruhi pemilu kepala negara di tingkat nasional. Maklumlah, komposisi masyarakat di Jabar boleh dibilang merepresentasikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Dengan demikian, sangat mungkin nantinya di pemilu presiden dan wakil presiden akan muncul "ganda campuran", politisi dan selebiti.
Apa yang sedang dilakoni dan diperankan oleh sang raja dangdut, Rhoma Irama, bukanlah sebuah kebetulan dan permainan papan bawah. Inilah sebuah kejeniusan dan kepiawaan membaca realitas politik tanah air. Dengan popularitasnya yang demikian dahsyat, bukan tidak mungkin pria yang punya kata "keterlaluan" ini akan menjadi magnet pendulang suara. Bisa jadi Anda tidak akan memilihnya, tapi kalangan menengah dan bawah mungkin lebih menyukainya daripada mencoblos politisi yang tidak mereka kenal. Bisa dibayangkan, kampanye Rhoma dengan sonetanya, pasti akan menggoncangkan publik di semua pelosok dengan lagunya "Begadang" dan "Judi". Ingat, seni adalah adalah sebuah budaya pemersatu yang tidak mengenal sekat primordialisme.
Memang, dunia politik sangat menggiurkan. Kursi kekuasaan kadang lebih menggoda dari seni peran dan panggung yang memerlukan profesionalisme tuntas. Banyak bintang berpikir bahwa pindah profesi merupakan hal yang mudah. Padahal, pengabdian masyarakat melalui politik dan layar lebar adalah dua hal yang sangat berbeda. Jaraknya seperti antara langit dan bumi.
Bila saja nanti banyak bintang cemerlang pindah menjadi magnet politik, ada waktunya rakyat akan kekurangan hiburan. Demi keseimbangan, apakah para politisi juga berkenan tukar guling profesi menjadi bintang dan selebritas: artis, aktor bahkan badut dan pelawak?
*)Penulis adalah pengamat sosial alumnus UII, UI dan UGM
(rmd/rmd)