Kalau kita lihat angka APBN 2013 yang Rp 1.683 triliun yang sebagian besar digunakan untuk belanja/gaji PNS sekitar Rp. 241 triliun dan untuk subsidi energi serta non energi sekitar Rp. 316 triliun, maka tentunya untuk membiayai jalannya roda kehidupan masyarakat menjadi sangat minim. Pemerintah hanya menganggarkan sekitar Rp. 1.126 triliun untuk sektor lain termasuk untuk pembangunan infrastruktur, belanja modal, bayar utang, dana transfer ke kas daerah dan sebagainya.
Melihat kondisi APBN 2013, Pemerintah memang harus mencari pendapatan tambahan di sektor pajak dan penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) yang masih mungkin untuk ditingkatkan. Jadi jangan heran jika Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementrian Keuangan sibuk melobi kiri kanan, termasuk ke Komisi XI DPR-RI. Salah satunya adalah akan melakukan perluasan obyek cukai. Tampaknya memang akan ada cukai dibalik defisit neraca berjalan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik adalah a. barang yang konsumsinya perlu dikendalikan; b. barang yang peredarannya perlu diawasi; c. barang yang pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; d. barang yang pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Pertanyaan publik, apakah dengan menambah obyek cukai defisit neraca akan berkurang karena pendapatan Negara naik ? Apakah benar tambahan obyek cukai dilakukan karena obyek tersebut merusak lingkungan atau membahayakan kesehatan publik, seperti alkohol/minuman keras dan rokok ?
Perluasan Obyek Cukai
Dari usulan BKF untuk menambah 4 obyek cukai, yaitu : kartu telepon selular, minuman berkarbonasi/soda, emisi kendaraan bermotor dan limbah pabrik tampaknya harus dibuktikan dari sisi ilmiah dan kebijakan. Kali ini penulis hanya ingin membahas pengenaan cukai pada minuman berkarbonasi terkait dengan studi dari LPEM UI: Evaluasi Dampak Potensial dari Pengenaan Cukai Terhadap Minuman Ringan Bersoda Bagi Pemerintah dan Perekonomian Secara Keseluruhan.
Selain itu mengingat minuman berkarbonasi tidak saja di konsumsi oleh konsumen kelas menengah-atas tetapi mayoritas oleh konsumen kelas menengah Š ke bawah, maka Pemerintah harus ekstra hati-hati. Pertanyaannya, apakah benar minuman berkarbonasi perlu dikendalikan dan diawasi peredarannya karena berbahaya dan merusak lingkungan atau ada alasan lain ? Mari kita lihat dari sudut kesehatan dan pendapatan Negara.
Dari sisi ilmu kesehatan pangan, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS (Prof. Made) dari Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor (IPB) menyatakan bahwa komponen utamanya minuman berkarbonasi adalah air. Komponen lain dengan kadar minim juga ada, seperti, karbon dioksida (CO2), konsentrat, kafein, pemanis buatan, pewarna dan pengasam.
Menurut Prof. Made minuman berkarbonasi tidak menyebabkan gangguan pencernaan. Kafein yang ada di minuman karbonasipun per 250 ml hanya 24 mg. Jika dibandingkan dengan kopi (65 Š 120 mg), teh (20 Š 90 mg) dan minuman ber-energi (70 Š 85 mg), ternyata kadar kafein minuman berkarbonasi jauh lebih rendah. Begitu pula dengan kadar gula minuman berkarbonasi (27 g) dibandingkan dengan jus dalam kemasan (30 g) dsb.
Selain itu jika minuman berkarbonasi dianggap sebagai penyebab obesitas, menurut Prof. Made juga kurang tepat karena obesitas tidak hanya disebabkan oleh minuman bersoda tetapi karena kurang aktivitas fisik, pola makan buruk dan gaya hidup yang berlebihan.
Dari segi ekonomi, menurut LPEM UI pengenaan cukai sebesar Rp. 3.000/liter saja (rencana BKF Rp. 1.000 Š Rp. 5.000/liter) akan menaikan harga minuman karbonasi dan mengurangi permintaan sampai 64,9%. Jika Rp. 5.000/l tentu akan lebih besar lagi. Elastisitas harga minuman karbonasi tinggi artinya bila ada kenaikan harga pada level tertentu, maka penurunan permintaannya akan menjadi lebih tinggi daripada kenaikan harga produk tersebut.
Penurunan penjualan akan memperkecil pendapatan produsen dan akibatnya pajak yang dibayarkan ke Pemerintah (PPN dan PPH) berkurang. Dari studi LPEM-UI tarif cukai Rp. 3.000/l akan berakibat sebagai berikut: (a) Pendapatan industri minuman karbonasi turun Rp. 5,6 triliun; (b) Pemasukan Pemerintah susut hingga Rp. 783,4 miliar; (c) Penyusutan penerimaan pajak tidak langsung hingga Rp. 710 miliar; (d) Penurunan pemasukan upah dan gaji hingga Rp. 1,56 triliun.
Jadi Masih Perlukah Cukai Pada Minuman Berkarbonasi ?
Ternyata masih berdasarkan studi LPEM-UI tersebut, dengan dikenakannya cukai pada minuman berkarbonasi Pemerintah memang akan mendapatkan tambahan pendapatan dari cukai sebesar Rp. 590 miliar. Namun penerimaan dari PPN akan berkurang hingga Rp. 562,7 miliar. Lalu penerimaan dari PPH akan berkurang sebesar Rp. 736,1 miliar dan Pemerintah juga harus menanggung beban biaya pungutan pajak sebesar Rp.74,7 miliar.
Sehingga secara total, kerugian Pemerintah akibat pengenaan cukai di minuman berkarbonasi adalah sebesar Rp. 783,5 miliar (Rp. 562,7 + Rp. 736.1 + Rp. 74.7 Š Rp. 590). Sebagai akibat penyusutan pemasukan Pemerintah, kontinuitas fiskal Indonesia tentu akan terganggu. Dengan asumsi pengenaan cukai hanya pada minuman karbonasi saja akan terjadi peningkatan debt to GDP dari 23,4% menjadi 24,1%.
Jadi mohon kepada BKF lebih kreatif dalam mencari sumber-sumber pendapatan lain untuk menutup defisit perdagangan di APBN. Jelas cukai terbukti tidak bisa dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan Negara. Sehingga kebijakan fiskal terkait penambahan jenis obyek cukai harus di teliti ulang. Jangan grusa grusu. Mau untung jadi buntung.
*Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen.
(nrl/nrl)