Anas Tijitibeh
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom Djoko Suud

Anas Tijitibeh

Minggu, 10 Feb 2013 11:13 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jakarta - SBY ambil kendali Partai Demokrat. Mengetati aturan dan ancam pecat yang tidak sepaham. Anas disuruh fokus kasus Hambalang. Benarkah ini solusi mengatasi problem internal partai, atau puncak kejengkelan SBY yang selalu gagal menjerat Anas? Bagaimana pula Anas menyikapi ini?

Anas kembali dihajar. Ini bukan kali pertama. Jika faksi Anas yang kini semakin kuat melakukan perlawanan, Partai Demokrat tidak sekadar kalah dalam pemilu mendatang, tetapi bubar. Azas tijitibeh jadi nyata. Mati siji mati kabeh mengancam partai ini. Harakiri?

Partai Demokrat tak kunjung tenang. Partai ini terus gonjang-ganjing. Faksi yang ada saling mencari salah. Dan itu yang mengusik partai ini tetap berseteru. Tidak perduli di tahun penting mendekati pemilu, dimana setiap partai sedang merekadaya untuk padu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pangkal ribut ini kali soal hasil sigi rendahnya tingkat elektabilitas Partai Demokrat. Kemerosotan itu sebenarnya aksiomatif. Partai bermasalah pasti akan ngunduh wohing pakarti. Memanen yang ditanam. Mengalami penurunan tajam.

Sayangnya, penurunan itu bukan tunggal penyebabnya, tetapi multi. Kader banyak terlilit korupsi, SBY yang mendekati akhir jabatan, dan tentu, ‘manajemen konflik’ yang tetap diuri-uri dalam partai ini adalah masalah yang memperpuruk performa Partai Demokrat. Ini penyebab kenapa elektabilitas Partai Demokrat jeblok.

Terlalu naif rasanya kalau itu dikatakan karena pengurus partai ini belum paham politik. Atau ada partai lain yang menskenario agar partai ini terpuruk. Dengan begitu, jika kisruh yang laten itu akibat gawe dalang, maka dalang itu tentu tidak jauh dari tiga faksi yang ‘terbaca’ saat Kongres Bandung.

Dalam Kongres itu terdapat tiga faksi besar. Pertama kelompok Marzuki Alie. Ini punya ‘pasukan inti’, bergerilya mendegradasi Anas Urbaningrum pasca kalah. Kendati powernya mengecil tergerogoti manuver Anas, tetapi itu tetap berperanan besar dalam menjaga perseteruan internal partai, agar rebut itu tidak kunjung padam.

Kedua adalah kelompok Andi Mallarangeng. Kendati secara personal Andi telah keluar karena terkena masalah, tapi itu tidak serta-merta melemahkan kelompok ini. Ketua Dewan Pembina disebut-sebut ikut mandegani. Itu yang membuat partai acap gonjang-ganjing dengan sikap ambivalensi, seperti yang terlihat dalam sikap SBY ‘ambil-alih’ kali ini. Sedang kekuatan ketiga adalah kelompok Anas Urbaningrum.

Dalam pandangan publik, Anas adalak sosok yang lama dikuyo-kuyo karena ‘tidak diharapkan’ kehadirannya. Dalam proses waktu, Anas dihadapkan pada dua pilihan, mundur atau melawan. Jika mundur, usia muda dan kariernya di politik wassalam. Sedang jika melawan, head to head dia akan berhadapan langsung dengan SBY.

Kalkulasi itu yang memaksa Anas tampil sebagai negator. Melawan. Menang cacak kalah cacak. Barisan darimana asal-muasalnya datang dikoordinasikan. Dan ‘HMI Conection' itu kini berdiri di belakang Anas, tumbuh rimbun di hampir semua cabang, selain loyalis yang sudah teruji zaman.

‘Barisan anak muda’ itu yang kini sedang menggalang kekuatan. Itu dikuati ‘kelompok hijau’ yang tidak seberapa ‘diopeni’ SBY, dan kubu abu-abu yang merasa ‘sakit hati’. Dengan begitu, melihat Anas di tahun 2012 amat kontras dengan posisinya di tahun 2013. Anas kini kuat, percaya diri, dan siap atau tidak siap akan siap jika dipaksa untuk diajak bertarung. Akankah Partai Demokrat akan jadi Padang Kurusetra oleh Dewan Pembina melawan tunas-tunasnya?

Perang tersamar memang sudah kama terjadi. Itu ditaksir semakin dadrah di tubuh partai ini, karena yang pro atau kontra SBY dan Anas ikut terlibat di dalamnya. Namun yang menjadi pertanyaan, beranikah itu dilakukan terbuka agar terang benderang siapa yang kalah dan siapa yang menang. Jika yang tua menang okelah. Tapi bagaimana jika kalah. Ditaruh mana wajah mereka?

Ada faksi yang kalah atau menang hakekatnya Partai Demokrat kalah. Taruhannya memang hanya satu, Partai Demokrat hancur. Partai pemerintah yang superior ini akan berubah menjadi debu, terbang kemana-mana tanpa ada yang menggubris. Akankah demi ambisi pribadi-pribadi partai ini harus dikorbankan?

Rasanya, perang bubat yang sudah terbuka itu perlu dihitung ulang jika mungkin. Akurlah menjelang pemilu. Atau jika tidak, peranglah sebenar-benar perang agar cepat bubar. Rakyat bosan melihat partai yang dulu enak dipandang dan merdu didengar itu sekarang kok jadi ikut hobi berantem.

(nwk/nwk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads