"Saya amat menyayangkan atas kekisruhan yang terjadi di komnas HAM, sedianya persoalan protokoler tidaklah menjadi pemicu rapuhnya organisasi di internal komnas HAM," kata anggota komisi III Bukhori Yusuf kepada detikcom, Sabtu (9/2/2013).
Menurutnya, masalah itu tak perlu sampai menimbulkan ketegangan antara komisioner dengan para staf. Apalagi jika menghambat kinerja komnas HAM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, masalah tatib yang menjadi sumber keksiruhan memang menjadi aturan yang disepakati dalam komnas HAM dan dibenarkan, namun lazimnya dalam aturan penutup ada batas waktu berlakunya tatib. Tatib itu juga perlu dibicarakan secara terbuka sehingga tak ada beda bisa diterima semuanya.
"Saya berpandangan kalau tatib itu diubah-ubah setiap saat, meskipun itu sah-sah saja sepanjang disepakati, namun akan meganggu kinerja komnas itu sendiri," terang Bukhori.
"Jangan-jangan pekerjaan Komnas HAM hanya mengubah tatib. Kalau demikian halnya, apa artinya DPR membentuk komnas kalau kerjaan utama hanya membuat dan merubah tatib," lanjutnya.
Komisioner Komnas HAM menerbitkan tatib yang membuat posisi tiga pimpinan akan digilir setiap tahunnya. Aturan yang disebut Koalisi Masyarakat Sipil sebagai aturan aneh ini sudah mulai dilaksanakan.
Nah kondisi inilah yang menjadi alasan staf menolak melayani komisioner. Para staf itu meminta agar komisioner bersikap transparan.
"Memutuskan untuk menghentikan pelayanan kepada komisioner sampai ada dialog terbuka yang konstruktif dengan para staf," demikian pernyataan sikap para staf Komnas HAM yang diterima detikcom, Jumat (8/2).
Ada 86 staf Komnas HAM yang menandatangani pernyataan. Mereka menyesalkan tidak transparannya pengambilan keputusan oleh para komisioner di sidang paripurna.
(iqb/lh)