Demokrat, Ini Suara Tuhan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolma

Demokrat, Ini Suara Tuhan

Jumat, 08 Feb 2013 18:35 WIB
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Den Haag - Nama Anas Urbaningrum telah berulangkali disebut-sebut dalam skandal korupsi Hambalang, rutin menjadi kepala berita di media -dalam konteks bukan positif tentu saja- dan menjadi bulan-bulanan di fora internet. Aneh dan menggerus akal sehat, jika sampai detik ini Demokrat seperti lumpuh tidak berdaya terhadap Anas dan Anas sendiri membiarkan dirinya dalam posisi seperti itu. Inilah pokok tema yang terus berulang di masyarakat. Silakan bisa dicek sendiri. Dari Belanda, Jakarta, Pekalongan, Malang, sampai Bali, setiap kali saya singgah makan di kedai dalam perjalanan liburan musim panas tahun lalu, diskusi dengan topik kemelut Demokrat itu selalu mencuat.

Survei-survei lembaga profesional sebenarnya menegaskan kembali sinyalemen seperti itu yang sudah sejak lama berkembang di masyarakat mengenai Demokrat. Dampaknya bisa dilihat: persepsi dan ekspektasi mereka terhadap Demokrat berubah, yang akhirnya mempengaruhi pilihan mereka. Boleh saja sebagian kader Demokrat tetap tidak percaya dan menganggap itu semua hanya mimpi. Satu hal yang absolut perlu disadari adalah hukum kausalitas ini: rontoknya perolehan suara Demokrat akan meruntuhkan kekuasaan dan membuat ratusan, mungkin ribuan kader Demokrat --yang sudah bekerja keras dan mengerahkan segala sumber daya-- akan kehilangan pekerjaan, jabatan penting, dan gagal terpilih (kembali) menjadi wakil rakyat. Bagi sebagian mereka hasil itu tetap akan seperti mimpi dan saat itu semua sudah sangat terlambat.

Anas belum tentu bersalah dan harus dipandang tidak bersalah, seperti dijamin oleh prinsip dasar hukum pidana: praesumptio innocentiae atau onschuldpresumptie menurut textbook Belanda, iemand is onschuldig tot het tegendeel is bewezen (seseorang tidak bersalah sampai dibuktikan sebaliknya). Praduga tak bersalah. Tetapi manakala seseorang itu adalah pemimpin atau tokoh partai politik, di mana bisnis intinya adalah menarik dan mengumpulkan kepercayaan publik, ternyata prinsip hukum itu terbukti tidak efektif. Sebab kepercayaan publik itu berbanding lurus dengan integritas. Ketika integritas seorang tokoh itu ternoda walaupun cuma setitik saja, publik akan mengayunkan pedang vonis lebih cepat dari Dewi Yustisia, hilang kepercayaan, tanpa menunggu proses hukum yang baru akan ada atau tidak ada sama sekali. Dan kehilangan kepercayaan publik itu bagi partai politik sama saja jalan menuju pintu pailit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekadar pembanding, di Belanda tuntutan integritas pada tokoh partai politik sangat tinggi. Begitu nama seorang tokoh partai politik terkait tindakan tercela, dia akan mengundurkan diri, meskipun secara hukum kesalahannya masih harus dibuktikan dan dia mempunyai hak untuk membela diri sesuai dijamin oleh undang-undang. Contoh terbaru adalah kasus Dr. J.C. Verdaas, politikus Partai Buruh yang menjabat setingkat Menteri Muda Urusan Ekonomi dalam Kabinet Rutte II. Dia menyatakan mundur dan meletakkan jabatan yang baru disandangnya satu bulan (5 November - 6 Desember 2012). Kesalahan Dr. Verdaas terhitung sangat kecil, cuma perilaku deklarasi. Dia resminya tinggal di Nijmegen, tetapi sering mendeklarasi ongkos perjalanannya ke rumah kedua di Zwolle, yang jaraknya lebih jauh. Integritas Verdaas dan partainya dipertanyakan. Kalau dalam urusan kecil tidak jujur, bagaimana dengan urusan besar? Begitu Verdaas mundur, hilang kontroversi mengenai nama pribadi dan partainya di media, partainya pun terbebas dari beban.

Demokrat selama ini selalu mempresentasikan diri sebagai partai yang mau mengajarkan kesantunan, berbudi dan beradab, taat azas, AD/ART dan hukum. Tapi hasil empirisnya terbukti sangat dramatis, kontraproduktif. Demokrat abai bahwa partai politik tidak sama dengan individu dalam prinsip praduga tak bersalah. Dalam soal integritas ini publik tak peduli fakta hukum dan prinsip hukum. Akal sehat dan nurani publik menjadi hakim-hakim yang otonom dan kecenderungannya bahkan semakin membesar dan liar seiring dengan ketiadaan ketegasan Demokrat dalam menyikapi pucuk pimpinannya. Kadang diperlukan semacam konvensi, sebab AD/ART tidak selalu bisa menjawab segala keadaan. Barangkali kontemplasi, laku tafakur Yudhoyono dan permohonannya pada Tuhan di Makkah dan Madinah telah dibalas berupa petunjuk yang mungkin tidak jauh dari suara-suara rakyat sebagai wakil Tuhan di bumi. Konon suara rakyat itu suara Tuhan, vox populi vox Dei. Kita tunggu seperti apa konkritnya suara Tuhan itu malam ini.

Lange Voorhout, Den Haag, 8 Februari 2013

Keterangan penulis:

Penulis adalah koresponden detikcom di Belanda. Tulisan ini tidak mewakili pandangan atau kebijakan redaksi.
(es/es)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads